Minggu, 03 Juli 2016

SIAPA YANG KRISIS IDENTITAS?



                Beberapa hari yang lalu seorang teman menandai saya di media sosial FB. Ia meminta saya untuk membahas atau memberikan komentar dengan diksi”bantahan” untuk sebuah tulisan luar biasa dari sebuah situs youthproactive.com. Awalnya saya tidak tertarik, sangat tidka tertarik, karena memang saya sedang malas membahas sesuatu yang hanya akan menimbulkan polemic atau perdebatan. Tapi menjadi sebuah tanggung jawab secara moral dan intelektual bagi saya yang dengan lancang menganggap diri ini seorang “pemikir: untuk menanggapi sebuah diskursus yang dikemukakan oleh “pemikir” lain. Oleh sebab itu saya mencoba untuk mengomentari sebuah tulisan dengan judul “Anak Muda dan Ancaman Fundamentalisme Agama”.

                Pertama saya akan membahas tentang judul yang diberikan oleh penulis. Saya tertarik dengan susuna kata “Ancaman Fundamentalisme Agama”. Dari judul saja, saya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa sang penulis “alergi” dengan orang-orang yang menjadikan agama sebagai poros hidupnya. Secara umum, fundamental memiliki arti sebagai sesuatu yang mendasar. Core atau pondasi untuk sesuatu. Orang-orang yang disebut fundamentalis, adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh dan militant memperjuangkan sesuatu. Teman dari fundamentalis adalah para radikalis, orang-orang yang berpikir mengakar, mengkaji sesuatu dari ujung permasalahannya. Menjadi menarik bagi saya sebagai seorang yang memiliki agama, ketika ada sekelompok orang , dalam hal ini anak-anak muda yang beragama, dianggap berbahaya “HANYA” karena mereka berpikir secara mendasar dan mengakar terhadap agama yang dianutnya. Penulis mungkin tidak sadar bahwa agama sudah menjadi keharusan untuk dijadikan landasan berpikir yang utama, landasan berperilaku paling utama dalam hidup. Namun, menjadi pertanyaan bagi saya ketika penulis menganggap “bahaya” untuk kaum fundamentalis, bagaiamana penulis memandang “agama” dalam hidupnya.?

 Walau tidak tertulis secara jelas, bisa saya pastikan bahwa tujuan tulisan ini adalah fundamentalis untuk agama “ISLAM”. Dengan berbagai contoh yang diberikan, mulai dari imam masjid, jenggot, dakwah, dan berbagai diksi yang cenderung ke arah Islam. Penulis menyinggung sebuah tulisan dari seornag penulis novel best seller negeri ini tentang “menghormati orang yang tidak berpuasa”. Jika penulis membaca tulisan itu mungkin dia akan sadar apa yang dimaksud sang Novelis adalah agar terjadi “saling” menghargai, bukan berarti Islam harus lebih dihormati, lebih dihargai,. Pada kenyataannya terjadi standar ganda dalam perilkau toleransi terhadap Islam di beberapa tempat yang Islam menjadi minoritas. Yang saya harus komentari adalah kalimat “sialnya tulisan ini banyak diamini anak muda lain”. Kata “sialnya” menunjukkan rasa tidak sepakat, rasa tidak terima, seolah-olah, mengamini sebuah diskursus yang dikemukakan di dunia maya adalah sebuah “kesalahan” dan layak dikatakan sebuah “kesialan”. Penulis mulai menunjukkan siapa dirinya. Dari awal tulisan ini menentang  orang-orang yang “menjustifikasi”, tanpa sadar penulis jauh lebih “beraksi” dalam hal justifikasi pada orang lain.

Menurut Yudi Latif dalam sebuah diskusi tentang agama, “ agama berkaitan dengan sesuatu yang suci, sedari awal memang agama mengandung kekuatan ambivalen : menakjubkan dan menghancurkan”. Agama bisa dipandnag menakjubkan ketika menawarkan atau menyediakan sebuah ketenangan atau kebahagiaan hidup bagi penganutnya, tapi juga bisa menghancurkan ketika agama mengekang atau menghukumnya untuk sebuah perilaku yang mungkin “nyaman” atau “harus” dilakukannya. Orang-orang yang menilai agama sebagai perusak atau penghancur, adalah orang-orang yang tidak mampu berpikir tentang agama secara lebih “terbuka” tidak bisa memandang bahwa agama bukan perkara apa yang kau bisa lihat dan raba saja, tapi agama bicara tentang sesuatu yang derajatnya tinggi, jauh, tak tergapai oleh orang-orang yang hatinya tak tersentuh dengan kata “iman”. Oleh sebab itu agama memiliki peran sentral dalam berbagai kegiatan. Tidak hanya aktivitas kemasyarakatan, bahkan Negara pun , dibangun atas dasar Agama. Pentingnya visi spiritual berdimensi etis sebagai jangkar pertumbuhan dan perkembangan bangsa disadaru sepenuhnya oleh para pendiri negeri ini. Dalam UUD 1945 terdapat sebuah pengakuan tertulis secara gambling bahwa kemerdekaan ini didapatkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Lalu mengapa anda mengatakan bahwa fundamentalis itu berbahaya???

Tulisan ini dengan mudahnya menuliskan sebuah hasil suvey tentang “toleransi” antar umat beragama dengan cara menanyakan pada siswa SMA 88%  muslim, apakah agama anda paling benar? dan jawabannya 97% setuju. Menurut saya, siapapun akan menjawab setuju jika ia ditanya apakah agamanya paling benar. Menjadi lucu ketika kita menganut sebuah agama, dan ketika ditanya apakah anda merasa agama anda paling benar kita menjawab, tidak… agama anu lebih benar dibanding agama saya. Menjadi unik ketika penulis menyatakan bahwa jawaban anak2 SMA tersebut mengindikasikan bahwa anak-anak muda Indonesia telah dimasuki pemikiran-pemikiran intoleran. Sungguh simpulan yang terlalu gegabah untuk sebuha lembaga riset.

Sungguh sangat banyak yang ingin saya komentari dari tulisan ini. Tapi saya rasa lebih penting jika saya langsung pada simpulan saja, karena pada dasarnya simpulan inilah yang ingin saya “jejalkan” pada kepala pembaca. Ketika anda sang penulis mengatakan bahwa anak muda yang hijrah, atau mulai berdakwah terlabeli “krisis identitas” maka menurut saya, kaum2 yang melbeli merekalah yang harusnya bertanya dan berkaca, “apa identitas saya”, “seperti apa identitas saya”. Para pendakwah, anak-anak muda yang mendedikasikan hidupnya dan aktivitasnya untuk kegiatan dakwan telah berani menunjukkan pada dunia”identitasnya”.. identitas saya “ISLAM”, entah anda yang buta, atau “hati” yang sudha kelam, sehingga dengan gampang anda semua bilang “mereka, anak-anak muda yang krisis identitas, melencek dari aspek kultural dan strktural… bla bla bla …. “ sungguh saya hanya tersenyum asam membacanya.

Dengan mudah juga penulis menyatakan bahwa kaum pemuda dengan gampang mengatakan orang lain kafir. Sangat lucu ketika para anak muda yang mulai belajar Islam, mulai mendakwahkan Islam dikatakn mengkafirkan orang lain karena ornag lain tersebut beda agama, atau tidak melakukan sholat, padahal jelas Sabda Rasulullah, bahwa sholat adalah pembeda antara orang kafir dan orang Islam. Ketika seseornag tidak melaksanakan sholat, dia telah layak disetrakan dengan orang kafir.  Lalu menyatakan bahwa agama lain salah dikatakan sebuah tindakan tidak terpuji, atau salah. Maka saya akan bertanya, jika ada orang yang mengatakan bahwa 2+2= 5.. apakah kita akan membiarkan? Islam adalah agama dakwah, Islam tersebar dan membesar karena “proses penyampaian pesan”. Islam menerapkan apa yang disampaikan Laswell untuk pengertian komunikasi “ who says what in which channel to whom with what effect”. Menyatakan bahwa 2+2=5 adalah pernyataan yang tidak tepat Karena 2+2=4 bukan merupakan sebuah penghinaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Zakir Naik dalam sebuah smeinarnya. Menyatakan bahwa anda salah, bukan sebuah penghinaan, jadi jangan samakan orang Islam sebagai penghina hanya karena sering mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh agama lain, atau penganut agama Islam yang tidak menjalankan Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW.

Islam agama sempurna, jika anda terganggu ketika orang bilang Islam adalah agama paling benar, seharusnya anda semua bersyukur masih ada rasa toleransi mereka untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama paling benar, karena bisa jadi agama lain tidak paling benar tapi berpeluang disebut benar. Sementara jika pertanyaan itu dating pada sata, saya akan berkata Islam adalah agama “BENAR” sedangkan agama lainnya “SALAH”. Jika anda terganggu dengan jawaban itu, dan mengatakan bahwa saya adalah contoh orang tidak toleran, sungguh saya lebih bahagia dilabeli seperti itu. Bagaimana mungkin saya dapat mengatakan agama lain benar, sementara saya memeluk sebuah agama yang komprehensif, detil dan kontekstual seperti Islam. Logis dan tidak dogmatis, cerdas dan mencerdaskan. Bagimana mungkin saya mengatakan agama lain benar, sementara agama lain tidak selengkap agama saya mengatur, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan. Kasarnya, carikan saya agama lain yang mampu menjelaskan dan mengatur aktivitas umatnya dari bangun tidur sampai tidur lagi, mengajarkan bagaimana cara buang air, cara makan, berhubungan bada, mebersihkan diri, menyembelih binatang, bahkan mengajari cara menghukum, berperang dan segala hal.
Jika karena saya memeluk Islam, dan menyatakan bahwa ISLAM adalah agama BENAR dan yang lainnya SALAH saya di CAP orang yang krisis identitas, berdakwah hanya karena aspek budaya popular kekinian, maka pertanyaan saya adalah. Apa yang anda perjuangkan? Ketidakjelasaan, keharmonisan semu?atau mungkin ideologi atas dasar kecerdasan logika semata. Maka tolong jawab. “Siapa yang krisis identitas?”


A.M


Tidak ada komentar:

Posting Komentar