Beberapa
hari yang lalu seorang teman menandai saya di media sosial FB. Ia meminta saya
untuk membahas atau memberikan komentar dengan diksi”bantahan” untuk sebuah
tulisan luar biasa dari sebuah situs youthproactive.com. Awalnya saya tidak
tertarik, sangat tidka tertarik, karena memang saya sedang malas membahas
sesuatu yang hanya akan menimbulkan polemic atau perdebatan. Tapi menjadi
sebuah tanggung jawab secara moral dan intelektual bagi saya yang dengan lancang
menganggap diri ini seorang “pemikir: untuk menanggapi sebuah diskursus yang
dikemukakan oleh “pemikir” lain. Oleh sebab itu saya mencoba untuk mengomentari
sebuah tulisan dengan judul “Anak Muda dan Ancaman Fundamentalisme Agama”.
Pertama
saya akan membahas tentang judul yang diberikan oleh penulis. Saya tertarik
dengan susuna kata “Ancaman Fundamentalisme Agama”. Dari judul saja, saya sudah
bisa mengambil kesimpulan bahwa sang penulis “alergi” dengan orang-orang yang
menjadikan agama sebagai poros hidupnya. Secara umum, fundamental memiliki arti
sebagai sesuatu yang mendasar. Core atau pondasi untuk sesuatu. Orang-orang
yang disebut fundamentalis, adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh dan militant
memperjuangkan sesuatu. Teman dari fundamentalis adalah para radikalis,
orang-orang yang berpikir mengakar, mengkaji sesuatu dari ujung
permasalahannya. Menjadi menarik bagi saya sebagai seorang yang memiliki agama,
ketika ada sekelompok orang , dalam hal ini anak-anak muda yang beragama,
dianggap berbahaya “HANYA” karena mereka berpikir secara mendasar dan mengakar
terhadap agama yang dianutnya. Penulis mungkin tidak sadar bahwa agama sudah
menjadi keharusan untuk dijadikan landasan berpikir yang utama, landasan
berperilaku paling utama dalam hidup. Namun, menjadi pertanyaan bagi saya
ketika penulis menganggap “bahaya” untuk kaum fundamentalis, bagaiamana penulis
memandang “agama” dalam hidupnya.?
Walau tidak tertulis secara jelas, bisa saya
pastikan bahwa tujuan tulisan ini adalah fundamentalis untuk agama “ISLAM”.
Dengan berbagai contoh yang diberikan, mulai dari imam masjid, jenggot, dakwah,
dan berbagai diksi yang cenderung ke arah Islam. Penulis menyinggung sebuah
tulisan dari seornag penulis novel best seller negeri ini tentang “menghormati
orang yang tidak berpuasa”. Jika penulis membaca tulisan itu mungkin dia akan
sadar apa yang dimaksud sang Novelis adalah agar terjadi “saling” menghargai,
bukan berarti Islam harus lebih dihormati, lebih dihargai,. Pada kenyataannya
terjadi standar ganda dalam perilkau toleransi terhadap Islam di beberapa
tempat yang Islam menjadi minoritas. Yang saya harus komentari adalah kalimat “sialnya
tulisan ini banyak diamini anak muda lain”. Kata “sialnya” menunjukkan rasa
tidak sepakat, rasa tidak terima, seolah-olah, mengamini sebuah diskursus yang
dikemukakan di dunia maya adalah sebuah “kesalahan” dan layak dikatakan sebuah “kesialan”.
Penulis mulai menunjukkan siapa dirinya. Dari awal tulisan ini menentang orang-orang yang “menjustifikasi”, tanpa sadar
penulis jauh lebih “beraksi” dalam hal justifikasi pada orang lain.
Menurut Yudi
Latif dalam sebuah diskusi tentang agama, “ agama berkaitan dengan sesuatu yang
suci, sedari awal memang agama mengandung kekuatan ambivalen : menakjubkan dan
menghancurkan”. Agama bisa dipandnag menakjubkan ketika menawarkan atau
menyediakan sebuah ketenangan atau kebahagiaan hidup bagi penganutnya, tapi
juga bisa menghancurkan ketika agama mengekang atau menghukumnya untuk sebuah
perilaku yang mungkin “nyaman” atau “harus” dilakukannya. Orang-orang yang
menilai agama sebagai perusak atau penghancur, adalah orang-orang yang tidak
mampu berpikir tentang agama secara lebih “terbuka” tidak bisa memandang bahwa
agama bukan perkara apa yang kau bisa lihat dan raba saja, tapi agama bicara
tentang sesuatu yang derajatnya tinggi, jauh, tak tergapai oleh orang-orang
yang hatinya tak tersentuh dengan kata “iman”. Oleh sebab itu agama memiliki
peran sentral dalam berbagai kegiatan. Tidak hanya aktivitas kemasyarakatan,
bahkan Negara pun , dibangun atas dasar Agama. Pentingnya visi spiritual berdimensi
etis sebagai jangkar pertumbuhan dan perkembangan bangsa disadaru sepenuhnya
oleh para pendiri negeri ini. Dalam UUD 1945 terdapat sebuah pengakuan tertulis
secara gambling bahwa kemerdekaan ini didapatkan “atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa”. Lalu mengapa anda mengatakan bahwa fundamentalis itu berbahaya???
Tulisan ini
dengan mudahnya menuliskan sebuah hasil suvey tentang “toleransi” antar umat
beragama dengan cara menanyakan pada siswa SMA 88% muslim, apakah agama anda paling benar? dan
jawabannya 97% setuju. Menurut saya, siapapun akan menjawab setuju jika ia
ditanya apakah agamanya paling benar. Menjadi lucu ketika kita menganut sebuah
agama, dan ketika ditanya apakah anda merasa agama anda paling benar kita
menjawab, tidak… agama anu lebih benar dibanding agama saya. Menjadi unik
ketika penulis menyatakan bahwa jawaban anak2 SMA tersebut mengindikasikan
bahwa anak-anak muda Indonesia telah dimasuki pemikiran-pemikiran intoleran.
Sungguh simpulan yang terlalu gegabah untuk sebuha lembaga riset.
Sungguh sangat
banyak yang ingin saya komentari dari tulisan ini. Tapi saya rasa lebih penting
jika saya langsung pada simpulan saja, karena pada dasarnya simpulan inilah
yang ingin saya “jejalkan” pada kepala pembaca. Ketika anda sang penulis
mengatakan bahwa anak muda yang hijrah, atau mulai berdakwah terlabeli “krisis
identitas” maka menurut saya, kaum2 yang melbeli merekalah yang harusnya
bertanya dan berkaca, “apa identitas saya”, “seperti apa identitas saya”. Para
pendakwah, anak-anak muda yang mendedikasikan hidupnya dan aktivitasnya untuk
kegiatan dakwan telah berani menunjukkan pada dunia”identitasnya”.. identitas
saya “ISLAM”, entah anda yang buta, atau “hati” yang sudha kelam, sehingga
dengan gampang anda semua bilang “mereka, anak-anak muda yang krisis identitas,
melencek dari aspek kultural dan strktural… bla bla bla …. “ sungguh saya hanya
tersenyum asam membacanya.
Dengan mudah juga penulis menyatakan bahwa kaum
pemuda dengan gampang mengatakan orang lain kafir. Sangat lucu ketika para anak
muda yang mulai belajar Islam, mulai mendakwahkan Islam dikatakn mengkafirkan
orang lain karena ornag lain tersebut beda agama, atau tidak melakukan sholat,
padahal jelas Sabda Rasulullah, bahwa sholat adalah pembeda antara orang kafir
dan orang Islam. Ketika seseornag tidak melaksanakan sholat, dia telah layak
disetrakan dengan orang kafir. Lalu
menyatakan bahwa agama lain salah dikatakan sebuah tindakan tidak terpuji, atau
salah. Maka saya akan bertanya, jika ada orang yang mengatakan bahwa 2+2= 5..
apakah kita akan membiarkan? Islam adalah agama dakwah, Islam tersebar dan
membesar karena “proses penyampaian pesan”. Islam menerapkan apa yang disampaikan
Laswell untuk pengertian komunikasi “ who says what in which channel to whom
with what effect”. Menyatakan bahwa 2+2=5 adalah pernyataan yang tidak tepat Karena
2+2=4 bukan merupakan sebuah penghinaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr.
Zakir Naik dalam sebuah smeinarnya. Menyatakan bahwa anda salah, bukan sebuah
penghinaan, jadi jangan samakan orang Islam sebagai penghina hanya karena
sering mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh agama lain, atau penganut agama
Islam yang tidak menjalankan Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan baginda
Rasulullah SAW.
Islam agama
sempurna, jika anda terganggu ketika orang bilang Islam adalah agama paling
benar, seharusnya anda semua bersyukur masih ada rasa toleransi mereka untuk
mengatakan bahwa Islam adalah agama paling benar, karena bisa jadi agama lain
tidak paling benar tapi berpeluang disebut benar. Sementara jika pertanyaan itu
dating pada sata, saya akan berkata Islam adalah agama “BENAR” sedangkan agama
lainnya “SALAH”. Jika anda terganggu dengan jawaban itu, dan mengatakan bahwa
saya adalah contoh orang tidak toleran, sungguh saya lebih bahagia dilabeli
seperti itu. Bagaimana mungkin saya dapat mengatakan agama lain benar,
sementara saya memeluk sebuah agama yang komprehensif, detil dan kontekstual
seperti Islam. Logis dan tidak dogmatis, cerdas dan mencerdaskan. Bagimana
mungkin saya mengatakan agama lain benar, sementara agama lain tidak selengkap
agama saya mengatur, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan. Kasarnya,
carikan saya agama lain yang mampu menjelaskan dan mengatur aktivitas umatnya
dari bangun tidur sampai tidur lagi, mengajarkan bagaimana cara buang air, cara
makan, berhubungan bada, mebersihkan diri, menyembelih binatang, bahkan
mengajari cara menghukum, berperang dan segala hal.
Jika karena saya
memeluk Islam, dan menyatakan bahwa ISLAM adalah agama BENAR dan yang lainnya
SALAH saya di CAP orang yang krisis identitas, berdakwah hanya karena aspek
budaya popular kekinian, maka pertanyaan saya adalah. Apa yang anda
perjuangkan? Ketidakjelasaan, keharmonisan semu?atau mungkin ideologi atas
dasar kecerdasan logika semata. Maka tolong jawab. “Siapa yang krisis identitas?”
A.M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar