Kamis, 30 Juni 2016

Karena Kami Anak Polisi

Karena Kami Anak Polisi
Menjadi anak polisi merupakan anugrah yang tidak semua orang miliki, sama aja sih sebanarnya ketika anak pegawai bank , guru, TNI, atau pekerjaan apapun di dunia ini berkata hal yang sama. Tapi menjadi unik ketika menjadi anak seorang polisi, tau apa uniknya???karena suka dukanya jelas diceritakan. Kenapa? Karena profesi polisi akhir-akhir ini, eh mungkin juga sejak dulu, atau entah sampai kapan akan banyak mengalami kontroversi.

Bagaimana tidak? menjadi polisi membuat seseorang mengalami sebuah “pemaknaan” baru dalam sistem sosial. Menurut Peter Berger dalam bukunya  Tafsir Sosial Atas kenyataan,(sok sok ilmiah) sebuah  makna muncul dari intepretasi lingkungan sosial terhadap pengalaman, pengetahuan, serta perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dimaknai tersebut.  Ketika seorang polisi menyanyi dan berjoget India, dalam waktu singkat ia menjadi terkenal. Ketika seorang polisi memiliki uang banyak di rekeningnya, maka muncul istilah “rekeneing gendut polisi”, ketika ada polisi berwajah tampan, maka  “polisi ganteng” menjadi viral. Dan banyak kasus lain, seperti di situ saya merasa sedih, parker atau berhenti, belum lagi kasus tilang menilang yang berbuntut panjang…..dan kasus-kasus lain yang berhubungan dengan dunia kepolisian. Polisi banyak dipandang negatif walau tidak sedikit juga dinilai positif... tapi kita tidak akan bicara tentang polisi kali ini, saya akan bercerita tentang bagaimana menjadi anak seorang polisi. Menjadi anak polisi tidak hanya bisa memakai atribut kepolisian kapan saja, mulai dari topi, baju, celana, sepatu polisi... sesuka hati.. tapi menjadi anak polisi lebih dari itu pengalamannya... 
Intinya menjadi anak polisi, tak akan lepas dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan polisi . Lewat tulisan ini akan saya sampaikan beberapa kisah saya, atau “kami”, karena saya tahu banyak pengalaman sama yang akan dirasakan oleh anak-anak polisi yang membaca tulisan ini. Jika ada tambahan cerita anda bisa komen dan sampaikan lewat saya…
Inilah beberapa curahan hati anak polisi, di hari Ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia. Dirgahayu POLISI Indonesia. Tetaplah menjadi pengabdi dan penganyom masyarakat yang setia, walau banyak yang mencaci dan menghina.. (aseeekkk) selamat menikmati… cerita2 aneh...yang pernah saya alami..

#NAMA PANGGILAN
          Sudah bukan hal aneh lagi masa kecil kita diisi oleh hal-hal menarik yang tak mudah untuk kita lupakan. Salah satunya adalah dipanggil dengan nama ayah. Entah siapa yang memulai tradisi aneh ini, tapi hal ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Misal : ada teman yang bernama Ilham, dan ayahnya bernama Syamsul. Maka kita tidak akan mendengar nama Ilham dipanggil, tapi “Syamsul” adalah nama barunya dalam pergaulan.

     Terhitung mulai tanggal nama ayahnya terungkap di khalayak umum. Menjadi seorang anak polisi membuat kami“dirugikan” dalam aturan tak jelas ini. Memiliki orang tua yang menggunakan seragam komplit dengan nama terpampang besar dan jelas di dada kanan benar-benar sebuah petaka bagi kami. Tidak jarang kami meminta ayah  tidak menjemput atau mengantar kami menggunakan baju dinas coklat kebanggaan itu. Tapi apa hendak dikata, kami diantar sebelum beliau ke kantor, dan dijemput ketika beliau tengah bekerja. Dan benar saja dengan mudah para “mata-mata” akan dengan mudah mengungkap identitas ayah kami. Dan dengan cepat pula kami berubah nama.
Beruntungnya kemampuan membaca teman-teman tidak begitu bagus dulu ketika masih kecil, apalagi harus mampu mendapatkan info dalam waktu yang singkat dan jarak yang tidak terlalu dekat. Kadang terjadi kesalahan penyebutan atau kesalahan ejaan. Hahha
Dipanggil dengan nama ayah ini tidak begitu menyulitkan atau bencana bagi kami setelah menjadi kebiasaan. Kemampuan menyesuaikan diri dengan panggilan baru sudah menjadi kewajiban bagi kami anak polisi. Toh tidak terlalu masalah, karena banyak cara menemukan nama orang tua teman-teman yang lain. Kami para anak polisi memiliki keterampilan “investigasi” yang baik, kami bisa pergi ke rumah mereka, melihat undangan perkawinan, melihat papan nama di atas pintu, atau juga melakukan cek di Yellow Pages, menyesuaikan nama dan nomor telpon sang teman. Hmmmm begitu niatnya usaha yang kami lakukan untuk sekadar mendapatkan nama orang tua teman. Luar biasa bukan?
          Sebagai tambahan selain panggilan yang berubah sesuai nama orang tua, kami anak polisi juga sering mendapat panggilan-panggilan aneh lainnya. Pak Pol, Anak Kolong, Preman Asrama, dan macam-macam. Intinya menjadi anak polisi membuat kami lebih mudah mendapatkan panggilan lain selain nama kami yang sebenarnya.
#TERKENAL = TUMBAL
          Menjadi abdi negara yang berinteraksi dengan masyarakat secara langsung membuat profesi polisi sangat terkenal di tengah-tengah kehidupan sosial. Tidak terlalu sulit menjelaskan deskripsi pekerjaan yang dilakukan polisi. Semua orang tau apa itu POLISI. Kami anak polisi pun sangat terbantu dengan hal tersebut. Ketika ditanya guru atau orang lain, “pekerjaan orang tuanya apa dek?” kami tinggal jawab “POLISI”. Pertanyaan akan berhenti disitu. Berbeda dengan teman-teman yang menjawab, “direktur”,”pegawai”, “wirausaha” atau “karyawan” jawaban-jawaban tersebut akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain.
          Karena profesi yang sangat terkenal itulah, kami para anak polisi juga ikut kena imbasnya. “Arif mana?”, “arif itu, yang anak polisi” sangat gampang untuk membuat kami dikenali dengan embel-embel anak polisi. Tidak hanya di lingkungan sekolah, di lingkungan permainan pun para anak polisi akan dengan lebih cepat dikenali. Karena dikenalnya kami sebagia anak polisi hal ini menimbulkan dampak-dampak yang kadang kami rasakan seperti menjadi tumbal dalam lingkungan pertemanan. Beberapa peristiwa yang sering kami alami dalam format percakapan adalah seperti ini:
a.    Kan anak polisi
T       :  “Rif, kamu jadi ketua kelas ya”,
AP      : “loh, kenapa saya?
T       : “kamu kan anak polisi”
AP      : “???????? (emang apa hubungannya)”
T       : “rif, ketua kelompok ya”
AP      : “kok saya?”
T       : “KAN KAMU ANAK POLISI”
AP      : Semua aja “kan anak polisi”, besok kamu ajak saya makan di restoran, terus suruh saya bayar, dan jawab “kan kamu anak polisi”( mereka kira anak polisi bisa jadi pemimpin dengan mudah, beberapa sih iya, tapi ga semuanya)
b.  Lalu Lintas
T       : “ berangkat yuk…”
AP      : “Siiippp… yuk…(sambil pakai helm)”
T       : “ngapaiin pakai helm?”
AP      : “YA IYALAH.. kan bawa motor, ya pakai helm lah”
T       : “kamu kan anak polisi, ngapain pakai helm, kita kan juga dekat, ga lewat pos polisi??”
AP      : “emang kalau anak polisi aspal jadi lunak kalau  jatuh dari motor?sobat pakai helm itu bukan perkara takut ditilang  sama polisi, tapi kesadaran menjaga keamanan dan ketertiban berlalu lintas (azeeeeeeeeeeeeeeek sok iye, pesan sponsor) hahahahha

Tidak jarang juga beberapa teman meminta nomor handphone ayah untuk “menyelamatkan” mereka dari tilang atas pelanggaran lalu lintas yang mereka lakukan. Dengan harapan bisa dibebaskan karena punya koneksi dengan polisi.

Saya sampaikan pada teman-teman semua, kami anak polisi tidak “kebal hukum”. Kami juga manusia biasa yang kalau salah akan tetap dihukum. Kami tidak akan dengan mudah begitu saja “menjual” nama orang tua kami untuk lolos dari jerat hukum. Walau ada beberapa yang melakukan hal seperti itu, tapi banyak diantara kami yang malah lebih parah “dihukum” apabila melakukan pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran lainnya.


Kami anak polisi lebih dahulu dirazia polisi di rumah, sebelum di razia di jalanan. Setiap kami ingin pergi keluar rumah, tidak jarang orang tua kami selalu bertanya “SIM, STNK?Helm jangan lupa, jangan ngebut, jangan terobos lampu merah!!” hmmmm… itu yang kami rasakan. Penting bagi kami anak polisi untuk menjaga nama baik kesatuan orang tua kami, jangan sampai kami anak polisi , malah kami yang merusak citra polisi. Ya kann sobatt??
Menjalani kehidupan sebagai anak polisi tentu tak akan lepas dari pengalaman berinteraksi dengan polisi dan urusan hukum. Saya akan ceritakan sebuah pengalaman unik saya berkaitan dengan tilang dan polisi.
Suatu hari saya tengah mencari alamat di sebuah kota di Sumatera Barat, saya clingak-clinguk , lihat kiri kanan, dengan kecepatan kurang dari 20 km/jam. Di sebuah persimpangan saya melihat tanda dilarang lewat kecuali roda dua, saya pun meneruskan perjalanan dengan santai. Beberapa ratus meter, saya melihat lagi lambang dilarang lewat, karena toko yang saya tuju jaraknya sudah dekat saya lanjutkan perjalanan. Tidak sampai beberapa meter, seorang polisi menghentikan saya dan meminta surat-surat, karena saya tidak merasa salah saya dengan tenang ikut perintah yang diberikan oleh polisi.
          Saya dibuatkan surat tilang dan diminta sidang dua minggu ke depan, ketika sang polisi tengah menulis saya iseng bertanya,
S       :  “saya ga bisa bayar di bank aja pak?”
P        : “sidang aja, g usah bayar di bank”
S       : “kata ayah saya lebih baik bayar di bank aja pak”
P        : “ayah kamu tau darimana, ayah kamu polisi?”
S       : “iya pak.. ayah saya polisi”
P        : “jangan boong kamu, kalau kamu memang anak kandung polisi, mana?coba telpon”
S       : (saya tidak ingin menelpon aya saya, tapi karena diminta akhirnya saya telpon) “Yah.. ini ada rekan ayah yang mau bicara, arif tadi ditangkap karena melanggar lalu lintas”
(terjadi percakapan beberapa saat, polisi tertawa, lalu meneyerahkan SIM dan STNK saya sambil berkata “hati-hati ya dek”

Sampai saat ini saya tidak tahu apa pembicaraan mereka, bisa jadi sang pak polisi teman ayah saya dulu saat sekolah kepolisian, atau mereka saling kenal sehingga saya dianggap anak sendiri. Atau saya dilindungi karena sang bapak  satu corps dengan ayah saya.  Atau bisa juga pak polisi menyadari saya tidak bersalah karena saya tidak tahu, tidak melihat, tidak senagja, dan dimaafkan. Hmmmmm . Walhuallam..
         
#MAIN DI KANTOR
Kerja yang padat dan aktifitas yang banyak serta tingkat disiplin yang tinggi membuat Polisi tidak mudah meninggalkan kantor dengan mudah, apalagi jika polisi tersebut berada di Unit Sabhara, Provost dan lainnya yang mengharuskan mereka stand by  di kantor. Jangan harap kami anak polisi bisa dengan mudah minta jemput, minta antar, minta temani ke pasar secara tiba-tiba. Begitu juga ketika kami pulang sekolah, saat masih TK dan SD, ketika usia kami belum bisa dipercaya tinggal sendiri di rumah. Kami yang “beruntung” memiliki ayah dan ibu yang bekerja biasanya sudah biasa “melabuhkan” diri ke kantor orang tua kami. Sebagai anak polisi, biasanya memiliki rumah disekitar kantor polisi, atau jarak yang tidak terlalu jauh dari kantor polisi sehingga “bermain” di kantor polisi adalah hal yang biasa bagi kami.

Masih dengan pakaian lengkap sekolah, Kami sudah  cukup bahagia bisa berlarian di lorong-lorong ruangan kantor polisi. Memasuki ruangan demi ruangan untuk bermain petak umpet . Biasanya kami akan dengan mudah dikenali karena seringnya kami dibawa ke kantor sejak kecil sehingga jarang dimarahi oleh polisi-polisi atau pegawai lainnya. Sampai hari ini kami anak polisi akan memanggil polisi lain dengan sebutan “om”. Kami diajarkan untuk memanggil rekan-rekan polisi ayah dengan sebutan “om” sampai sekarang. Mungkin hal tersebut memeiliki makna simbolik tersendiri dalam dunia kepolisian. Hahah..
Di kantor polisi kami memiliki berbagai aktifitas seperti menaiki motor-motor tangkapan dan barang bukti yang berjejer atau bermain di lapangan kantor polisi yang luas (hampir semua kantor polisi memiliki lapangan yang luas). Cukup menyenangkan juga ketika kami bisa ke ruang penjara kantor polisi dan memanggil-manggil tahanan yang sedang tidur tanpa pakaian “hei… pak penjara..pak penjara, banguun ”saat mereka terbangun, kami biasanya akan lari ketakutan hahaha..… pengalaman yang tak akan terlupakan.
Ketika perut lapar dan kerongkongan haus, biasanya kami akan ke ruangan orang tua kami yang sedang sibuk bekerja, dan menyampaikan keluhan kami. Dan ujungnya kami akan diantarkan ke kantin yang dipenuhi polisi-polisi yang sedang 3N (ngopi,ngerokok,ngobrol). Pilihan utama kami biasanya mie goreng atau penganan-penganan kecil dengan minum teh botol atau susu dingin cukup mengenyangkan. Setelah makan biasanya kami kembali bermain, naik ke mobil patroli , membaca berbagai macam rambu-rambu lalu lintas di ruang tes SIM dan berbagai kegiatan lainnya. Intinya bermain di kantor polisi adalah bagian kehidupan bagi kami anak-anak polisi.

#PANGGILAN TUGAS
          Konsekuensi memiliki orang tua sebagai pengayom masyarakat membuat kami menyadari bahwa kami harus “berbagi” orang tua  dengan masyarakat. Ketika teman-teman kami di bulan Ramadhan banyak yang bisa berbuka dan sahur dengan orang tua mereka, kami harus rela berbuk
a dan sahur tanpa ayah kami yang tengah melakukan pengawalan atau pengawasan di berbagai titik keramaian selama Ramadhan. Untuk yang non muslim, ketika malam Natal dimana seharusnya bisa berkumpul dengan keluarga, sang Ayah masih dihadapkan dengan operasi Lilin. Begitu juga dengan malam lebaran bagi Muslim yang harus dilewati tanpa ayah yang tengah berjaga pada operasi ketupat.  
Ketika banyak orang sibuk di jalanan dan menghadapi kemacetan di perjalanan liburan, kami hanya bisa dirumah menanti ayah kami pulang mengatur lalu lintas agar perjalanan mereka yang kadang “menyalahkan” polisi atas kemacetan dapat berjalan lancar dan mereka bisa sampai di tempat liburan dengan nyaman. Susah membayangkannya? Ya iyalah.. hanya kami anak polisi yang bisa merasakannya.
Itu baru masalah pergi bertugas di jalan, pernah bayangkan ketika orang tua kami, izin untuk pergi menangkap perampok, mengejar pembunuh, atau  membongkar sarang judi, miras atau narkoba. Memang pamitnya cuma bilang "pergi dinas", tapi di rumah, kalian akan melihat beliau membersihkan senjata, mengisi peluru, memakai rompi, memakai sepatu, semua terasa begitu mencekam, walau beliau melakukannya dengan santai..
Ketika mereka pergi, dan bersalaman dengan kami, rasanya sedih dan ingin rasnaya bilang "ayah ga usah pergi, di rumah aja"..  beda rasanya ketika kalian bersalamn saat orang tua kalian pergi dinas keluar kota untuk rapat atau seminar,bukan kami mengecilkan perjuangan ornag tua kalian dalam bekerja, kami hanya bercerita tentang "beda rasa"..ketika ayah2 kami pergi... kami tau mereka pergi keluar untuk bertaruh hidup mati dengan penjahat, yang mungkin saja tidak akan kembali lagi, atau kembali dalam keadaan terluka...hmmm...

Ya itulah yang kami rasakan...sedikit cerita tentang anak polisi yang terluka hatinya setiap mendengar polisi dihina oleh teman dekat kami sendiri, atau polisi dimaki2 persis di depan kami. susah ya merasakannya?? tak masalah... karena kami anak polisi sudah dilatih untuk itu semua... dilatih untuk terbiasa..dengan semua caci dan hina, untuk perbuatan yang tak dilakukan oleh ayahanda..

sebuah tulisan singkat untuk kita semua.. 

dari kami para anak polisi yang setia..(cieeeeeeeee)

Dirgahayu Polisi Indonesia..



2 komentar:

  1. Apapun ceritanya, cuma kita aja yang bisa ngertiin sebagai anak polisi. Diceritain kaya apapun, mereka ga bisa paham kaya kita.

    #kitahebat

    BalasHapus
  2. Iya sedih jgk apalagi kalok diejekin terus, anak polisi mah enak apa" tinggal telpon ayah, ga semudah itu Ferguso

    BalasHapus