“Ada orang yang rela mati demi
sebuah pengakuan, demi sebuah pengabdian…dan aku berjuang untuk mengambil jalan
kematian karena cintaku pada negeri ini…”. Itulah kalimat terakhir yang diucapkan
Bisma sesaat sebelum maut menjemputnya. Bisma tewas setelah kalah bertarung
melawan Srikandi yang dibantu oleh panah Arjuna dalam perang sengit,Bharathayudha.
Adegan tersebut
merupakan salah satu bagian dari kabaret Mahabrata yang digelar oleh Badalohor Broadcast and Entertainment. Badalohor
juga bekerja sama dengan 13 sekolah tingkat SMP dan SMA di Kota Bandung sebagai
kru dan talent. Acara ini digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya
Jawa Barat, Rabu (16/1). Pertunjukkan ini akan berlangsung hingga 20 Januari
mendatang dengan melibatkan lebih dari 500 orang, mencakup talent dan kru yang bertugas.
Dalam
pertunjukkan ini penonton tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan dan
sorakan di setiap adegan-adegan yang lucu ataupun mengharukan. Kabaret ini menceritakan
tentang kisah Mahabrata yang berisi pertempuran antara Pandawa dan Kurawa.
Menurut Sutradara sekaligus pemain, Didit Miladi, pertunjukkan ini bertujuan
untuk mengapresiasi kegiatan sekolah yang bergerak dalam bidang teater. Selain
itu pertunjukkan ini juga bertujuan untuk
memperkenalkan budaya lokal kepada para pelajar sekaligus menanamkan
moralitas dan kecintaan terhadap tanah air. “Sudah saatnya kita mengapresiasi
budaya dan memperkenalkan Mahbrata di masyarakat” ujarnya. Dalam kabaret yang
berlangsung selama 59 menit 23 detik ini juga sarat dengan unsur-unsur
perjuangan, cinta, kesetiaan, dan pengorbanan.
Di awal cerita
diceritakan bagaimana seorang Sengkuni yang merupakan paman Kurawa menghasut
dan membantu Kurawa menguasai Kerajaan Hastina dengan mengusir para Pandawa
setelah mengalahkan mereka dalam pertandingan dadu. Pandawa yang kalah harus
meninggalkan istana dan tinggal di hutan belantara selama 13 tahun lamanya. Dibalut
dengan musik-musik masa kini dan menggunakan kostum yang megah, menambah semarak
pertunjukkan ini. Untuk setiap adegan selalu
diisi dengan musik latar yang sangat mendukung masing-masing adegannya.
Seperti perpisahan antara Yudhistira dan Drupadi istrinya, musik “A Thousand Years” dari Cristina Perry
dimainkan sembari Drupadi menangis tersedu-sedu karena tak rela ditinggal oleh
Yudhistira.
Gelak tawa
penonton yang berjumlah lebih dari 500 orang ikut memeriahkan pertunjukkan yang
dipenuhi adegan-adegan lucu dan menghibur. Menjadi hiburan tersendiri bagi
penonton melihat para tokoh pewayangan Mahabrata melakukan berbagai aksi lucu.
Salah satu adegan yang paling mengundang tawa adalah ketika Pandawa dan Kurawa
melakukan goyang “Gangnam Style” yang dipopulerkan PSY dari Korea. “Kapan lagi
melihat tokoh wayang melakukan goyang Gangnam
Style” ujar Fitri, salah seorang penonton sambil tertawa.
Dengan persiapan
yang kurang lebih 2 bulan Badalohor mampu menampilkan pertunjukkan yang bisa
dinikmati oleh banyak orang. Tidak sedikit penonton yang terdiam dan terharu
menyaksikan Bisma yang tewas demi membela negerinya sendiri walau harus
berperang melawan cucunya sendiri para Pandawa. Kesetiaannnya pada negara
menunjukkan bahwa rasa cinta tanah air itu mengalahkan rasa apapun yang
dimilkinya. Dalam pertunjukkan ini setiap adegan juga didukung oleh setting lokasi yang berbeda dibantu oleh
LCD proyektor yang menampilkan beberapa tempat seperti
kerajaan, hutan, gunung, dan medan perang. Selain itu efek serta properti yang
ada berupa akar pohon, anak panah, pedang dan lainnya, seakan-akan nyata,
sehingga menambah lengkapnya pertunjukkan ini.
Perjuangan
mencintai tanah air menjadi perhatian khusus bagi Badalohor sebagai latar
belakang mengadakan pertunjukkan ini. Menurut Windi Ruswandi selaku Produser,
anak-anak Indonesia sekarang telah terlalu dimanjakan dengan teknologi sehingga
kadang lupa dengan tanah air mereka. Oleh sebab itu cerita yang diselipkan
dengan nilai-nilai cinta tanah air ini disajikan dengan hal-hal yang berbau
modernisme seperti musik dan tarian. Hal ini dilakukan agar anak-anak bisa bisa
lebih tertarik untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan
perjuangan membela tanah air.
Pertunjukkan ini
tampil sebanyak empat kali dalam sehari. Penampilan pertama pukul 09.00 WIB
selanjutnya pukul 11.00 WIB, 14.00 WIB dan terakhir 16.00 WIB. Pertunjukkan ini melibatkan banyak penampil
karena penampil yang tampil di setiap sesi berbeda-beda. Namun, walau pemain
yang terus berganti kabaret yang ditampilkan tetap sama. “Penokohan kita tetap,
hanya pemeran tokoh tersebut yang berbeda”tambah Windi. Pertunjukkan ini memang
ditujukan untuk masyarakat khususnya kaum pelajar.
Menyajikan
pertunjukkan dengan berbagai adegan yang menceritakan tentang cinta dan
peperangan tentulah bukan pekerjaan mudah untuk membuatnya. Kreatif dan
koreografer pertunjukkan ini harus bisa membuat pertunjukkan ini bisa dinikmati dan sesuai dengan anak-anak
dan kaum pelajar. Dalam pertunjukkan ini adegan berpelukan, berpegangan tangan,
perkelahian, serta kata-kata yang terkesan tidak sopan juga terselip di
beberapa bagian pertunjukkan. Menanggapi hal tersebut Windi mengatakan bahwa
masalah tersebut tidak terlalu menjadi soal. Badalohor telah meminta konfirmasi
ulang tentang bentuk kabaret yang akan ditampilkan bagi pihak-pihak sekolah
yang siswanya ikut serta sebagai penampil. Beberapa sekolah yang tidak ingin
siswanya beradegan seperti berpelukan atau berpegangan tangan, Badalohor akan
menyesuaikan sesuai dengan keinginan sekolah tersebut.
Di akhir acara
pembawa acara juga tak lupa mengingatkan anak-anak yang menjadi penonton agar
tidak meniru adegan-adegan perkelahian yang ada dalam pertunjukkan. Selain itu
diingatkan juga untuk tidak berkata-kata kasar kepada teman atau orang tua.
“Jangan sampai jadi jahat seperti Kurawa yaa, jadilah orang baik seperti
Pandawa..” ujar pembawa acara pada penonton. Menurut salah seorang guru SD
Ligunasari 1, Wiwi Praptiwi yang hadir, acara ini sangat bermanfaat bagi anak
didiknya, selain menambah wawasan, pertunjukkan ini juga menghibur dan
melengkapi proses pembelajaran mereka di luar sekolah.*MJ01-Arif mulizar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar