Suatu
sore ketika saya berhadapan dengan
komputer dan tengah “berselancar” di dunia maya, saya menemukan sebuah humor
yang cukup “menggelitik” pikiran saya.Inilah petikan humor yang berupa dialog
antara guru dan murid. “Roni, kenapa kamu tidak mengumpulkan tugas?” tanya
seorang guru SD pagi hari di ruang kelas.”Aduh Bu, saya mau mengumpulkan tugas,
tetapi saya tidak bisa membuat tugas tersebut, sehingga tidak saya
kumpulkan”jawab sang murid dengan polos.”Kenapa kamu tidak mengerjakan tugas
tersebut?”balas sang guru.”Komputer saya rusak dua huruf bu”ujar si murid “dan
dua huruf itu huruf terpenting dalam membuat tugas bu”tambahnya.”huruf apa
itu?”sang guru penasaran.”hurf C untuk copy
dan huruf V untuk paste” jawab si
murid.
Membaca
humor di atas mungkin bisa membuat kita tersenyum atau malah tertawa
terpingkal-pingkal. Namun, perlu kita sadari humor tersebut tidak akan ada jika
hal itu tidak terjadi dalam dunia nyata, mungkin tidak akan ada murid yang
menjawab persis seperti itu, tapi dengan humor seperti ini bisa mencerminkan
bahwa fenomena plagiarisme telah menjadi hal yang lumrah dan dikenal banyak
orang, khususnya di negara ini. Tidak hanya usia dewasa tapi telah merambah ke
usia remaja bahkan anak-anak. Bisa saya katakan di sini seharusnya kita prihatin
dengan humor seperti ini, secara tidak langsung humor ini mendeskripsikan bahwa
di Indonesia budaya plagiarisme telah menjadi budaya yang lumrah dan bisa
menjadi bahan “guyonan”.
Perlu
kita kaji ulang bahwa tindak plagiarisme di Indonesia semakin marak seiring
dengan semakin majunya teknologi. Mengapa saya sebut demikian?sebagai salah
satu contoh, pelanggaran hak cipta terjadi sejak adanya mesin fotokopi, setiap
orang bisa dengan bebas memfoto kopi buku yang dia inginkan, bahkan dengan
warna dan bentuk serupa. Hak cipta yang dimaksud adalah hak eksklusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta).
Apakah
setiap orang yang memfotokopi buku telah meminta izin pada setiap pengarang
bukunya?saya rasa tidak. Bahkan menurut pengalaman pribadi saya, saya dan teman
satu kelas saya pernah menfotokopi beberapa buku dalam jumlah besar dan bisa
saya sebut mencetak ulang buku tersebut dengan harga murah, tanpa ada satupun
dari kami yang memberitahu pengarang buku tersebut. Keadaan yang membuat orang
melakukan tindak plagiarisme, di saat kebutuhan akan ilmu dari buku tersebut
sangat dibutuhkan, sementara buku tersebut sulit ditemui dipasaran atau ada
dipasaran tapi memilki harga yang sangat tinggi, dibantu dengan teknologi maka
berlangsunglah sebuah pelanggaran hak cipta.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta”pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”. Pasal tersebut
dengan jelas mengatakan bahwa sesorang bisa disebut pencipta apabila dia
melahirkan suatu ciptaan bukan dengan otak atau pikiran orang lain tapi atas
kemampua dan keahliannya sendiri.
Bagaimana mungkin kita menuliskan atau mengatakan sesuatu yang bukan
berasal dari kita tanpa menuliskan berasal darimana hal tersebut? dan
seolah-olah itu berasal dari kita?
Menyambut
Hari Kekayaan Intelektual Sedunia yang jatuh tepatnya setiap tanggal 26 April yang ditetapkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) sejak tahun 2001 . Pada
tanggal 26 April tahun 2000, Konvensi Pembentukan World Intellectual Property Organization (WIPO) dinyatakan
mulai berlaku. Oleh karena itu, setiap tanggal 26 April, selalu
diperingati oleh negara-negara anggota WIPO, termasuk Indonesia, sebagai World Intellectual Property Day atau
Hari Kekayaan Intelektual Sedunia. Sudah sepantasnya kita memikirkan ulang
mengenai teknologi yang semakin lama semakin membantu proses plagiarisme ini.
Teknologi
yang semakin memanjakan dan mempermudah sebuah proses palgiarisme merupakan
salah satu faktor besar berkembangnya plagiarisme dan cenderung memasyarakat.
Jangan pernah salahkan para generasi muda Indonesia yang akan lebih suka membuka
alat-alat digital mereka untuk menyalin suatu informasi dibanding masuk ke
perpustakaan dan membolak-balik buku lalu menuliskan kembali informasi yang
mereka dapatkan. Semakin banyak café yang menyediakan fasilitas hot spot akan membuat perpustakaan semakin sepi.
Lagi-lagi teknologi yang memudahkan, teknologi pula yang memalaskan orang.
Banyak hal
yang sebenarnya bisa kita lakukan saat ini untuk menghadapi “penyakit” yang
satu ini, tapi dalam hal ini dibutuhkan kerjasama yang sangat kuat dari berbagai
elemen, mulai dari pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat umum. Kampanye
anti plagiarisme mungkin sudah sering dilakukan tapi sekarang yang dibutuhkan
adalah tindakan nyata. Berbagai hukum telah dibuat tentang hal ini, tinggal
penerapan dan kesadaran dari masyarakat untuk menguatkan hukum ini.
Sangat
dibutuhkan dan diharapkan adanya
peningkatan pemahaman bagi kita semua untuk lebih menghargai dan menghormati
hasil karya intelektual orang lain. Selain itu, masalah pelanggaran hak
kekayaan intelektual juga akan berpengaruh terhadap gairah atau keinginan untuk
berkreasi dan berinovasi. Dengan kata lain, pelanggaran hak kekayaan intelektual
yang tidak ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang kuat akan menimbulkan
dampak negatif yang lambat laun akan menghancurkan negara ini.
Indonesia adalah
negara kaya, banyak hal yang bisa dibanggakan dari negara ini. Saking banyaknya
telah banyak hal-hal yang merupakan buah pikiran asli Indonesia berusaha
diambil oleh negara lain. Apakah kita akan tetap membiarkan budaya plagiarisme
ini?Apakah yang akan kita lakukan jika suatu sata nanti humor di awal tulisan
ini menjadi hal nyata yang kita dengar?
Marilah disaat
dunia akan memperingati Hari Kekayaan Intelektual ini, kita sebagia warga
negara Indonesia merenung dalam hati, apakah kita sudah bisa ikut merayakan
hari itu?Apakah kita pantas merayakan hari itu? Hanya diri kita pribadi yang
bisa menjawabnya.
Jangan jadikan
teknologi yang berkembang untuk membuat kemudahan menjadikan kita manja dan
semakin berpikiran sempit untuk menjadi seorang plagiator. Jadikanlah teknologi
sebagai alat membantu kita menjadi lebih baik dan membangun bangsa ini menjadi
bangsa yang lebih baik. Jangan menjadi manusia ctrl+c, ctrl+v lagi. Semua
bisa berubah jika kita bisa mulai dari yang kecil, mulai dari yang ada di
sekitar kita, dan mulai dari sekarang.
penjabaran yang mewakili kondisi saat ini, good writing :)
BalasHapusmakasih den... cieee..calon jurnalis..hahaha
BalasHapus