Sabtu, 10 November 2012

JURNALISME TERDIDIK



“Wan, sekolahmu kemarin rusuh ya?”, “rusuh? ga tuh..kabar dari mana tu?”, “loh, bukannya kemarin di TV sekolahmu yang dibilang tauran?”, “hah?salah tu berita, jangan cepat percaya berita sekarang”.
Dialog di atas hanyalah sebuah ilustrasi yang terinspirasi dari kejadian nyata di negeri ini. Saat itu salah satu stasiun TV ternama Indonesia melakukan kesalahan penulisan nama sekolah yang terlibat tauran dahsyat. Hal yang sangat krusial yang efeknya sangat besar. Satu sekolah menjadi buruk citranya, atau mendadak dicap jelek tanpa melakukan apapun hanya karena kesalahan penulisan nama. Inilah masa di mana kecepatan lebih diutamakan daripada ketepatan.
Ketika semua ini terjadi, yang paling pertama disalahkan oleh orang adalah stasiun TV tersebut, dianggap tidak benar, dianggap ceroboh atau teledor.  Bagi sebagian orang kritik dan protes orang-orang terhadap stasiun TV di berbagai media sosial adalah hal yang biasa. Namun, bagi orang-orang yang masih peduli dengan keadaan media massa Indonesia, hal itu ibarat sebuah tamparan keras di muka para pekerja media massa, tepatnya para jurnalis negeri ini.
Salah satu fungsi media massa adalah untuk memberikan informasi. Namun, informasi yang diberikan bukanlah informasi yang sembarangan atau asal-asalan. Sebelum informasi tersebut disiarkan melalui media massa dan disaksikan jutaan orang, informasi itu seharusnya dipastikan terlebih dulu kebenarannya. Fakta dan data adalah hal yang harus selalu dipastikan dan diperhatikan oleh seorang jurnalis.
Menjalankan fungsi media massa sebagi pendidik masyarakat sudah selayaknya kaum jurnalis yang mengisi media massa memberikan pembelajaran yang baik untuk khalayaknya. Hal-hal yang bersifat fundamental seperti verifikasi, riset, dan observasi adalah hal yang harus dilakukan untuk mendukung setiap hal yang disampaikan.
Menurut Ary Gunawan Usis, seorang pemerhati media yang juga mantan wartawan dalam artikelnya tentang pendidikan jurnalisme di Koran Tempo(18/2) bahwa “pendidikan jurnalisme dapat dianggap sebagai hulu dari proses pengembangan pers dan jurnalisme yang bermutu”. Penulis sangat setuju dengan pendapat ini karena menurut penulis, semua kesalahan yang terjadi atau kegagalan-kegagalan media massa menampilkan tayangan atau memaparkan informasi yang tidak  baik atau tidak cukup  benar adalah karena kurangnya pendidikan jurnalisme yang mereka punya.
Oleh sebab itu sangat dirasa penting untuk memperdalam dan memperkuat pondasi dasar setiap pekerja jurnalisme dalam hal ke jurnalistikan mereka. Namun, tidak hanya orang yang berlandaskan pendidikan jurnalisme yang bergerak di dunia jurnalisme dan menghasilkan karya-karya jurnalistik yang bagus. Wartawan atau reporter televisi tidak semuanya memilki dasar jurnalistik. Banyak dari jurnalis Indonesia yang pendidikan dasarnya bukan berasal dari jurnalistik, tapi dari berbagai macam disiplin ilmu.
Seharusnya bisa dikatakan bahwa semua isi siaran di berbagai media massa adalah tanggung jawab para lulusan dengan ilmu yangs sesuai dengan hal tersebut, seperti para sarjana ilmu komunikasi. Menurut beberapa alumni fakultas ilmu komunikasi di salah satu universitas di Kota Bandung yang penulis temui, pendidikan yang ada di bangku kuliah dengan fakta di lapangan ketika bekerja di dunia jurnalistik sangat terasa berbeda.
Mengenai perbedaan yang terjadi di bangku kuliah dan di lapangan menurut penulis merupakan hal yang harus sangat diperhatikan oleh lembaga pendidikan jurnalisme. Untuk menghasilkan sumber daya berkualitas di lapangan , dibutuhkan pengetahuan mengenai lapangan secara jelas. Jangan sampai apa yang dijelaskan di bangku kuliah malah berlawanan dengan apa yang terjadi di lapangan. Hal ini juga merupakan faktor penyebab tidak berkualitasnya karya jurnalistik yang dihasilkan. Kebanyakan hanya mengejar kecepatan dan mengabaikan ketepatan.
UNESCO telah membuat sebuah panduan untuk pendidikan jurnalistik. Dalam panduan tersebut dikatakan bahwa dalam melakukan pendidikan jurnalisme harus diperhatikan tiga poros utama. Poros pertama adalah poros yang mengajarkan norma, nilai, perangkat , standar, dan praktik jurnalisme. Poros kedua menekankan pada aspek-aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan etika dari praktik jurnalisme , baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Adapaun poros ketiga terdiri atas pengetahuan umum mengenai dunia dan tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme.
Berkaca dari tiga poros yang telah ditentukan UNESCO terhadap pendidikan jurnalisme tersebut, apakah Indonesia telah menerapkan ketiga hal tersebut dalam melaksanakan pendidikan dalam dunia jurnalisme. Apakah jurnalis Indonesia sudah cukup memiliki etika untuk tidak menerima amplop , atau malah memberikan nomor rekeningnya demi sebuah pemberitaan?Apakah jurnalis Indonesia sudah cukup pengetahuan umumnya tentang dunia?apakah jurnalis Indonesia bisa membedakan mana norma dan nilai yang harus diperhatikannya?
Terlepas dari ketiga poros pendidikan jurnalisme, para calon pendidik lewat media massa ini juga harus memahami hal-hal sederhana yang sangat penting nilainya, yaitu EYD (ejaan yang disempurnakan). Bahasa media adalah bahasa yang amat sering menjadi acuan bagi banyak orang utnk diadopsi menjadi bahasa mereka sehari-hari. Jika bahasa yang dipaparkan media secara terus-menerus mengalami kesalahan maka bersiaplah menerima dampak kesalahan bahasa yang lebih besar di masyarakat.
Penulis sangat berharap agar lembaga-lembaga yang menjalankan pendidikan jurnalisme sekarang. Seperti di universitas-universitas negeri maupun swasta dapat dengan benar memberikan pembelajaran yang tepat untuk para calon jurnalis. Untuk menjadi pendidik yang baik bagi para penikmat media massa, para calon jurnalis haruslah menjadi orang yang terdidik pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar