“Wan, sekolahmu kemarin rusuh ya?”, “rusuh? ga
tuh..kabar dari mana tu?”, “loh, bukannya kemarin di TV sekolahmu yang dibilang
tauran?”, “hah?salah tu berita, jangan cepat percaya berita sekarang”.
Dialog di atas hanyalah sebuah
ilustrasi yang terinspirasi dari kejadian nyata di negeri ini. Saat itu salah
satu stasiun TV ternama Indonesia melakukan kesalahan penulisan nama sekolah
yang terlibat tauran dahsyat. Hal yang sangat krusial yang efeknya sangat besar.
Satu sekolah menjadi buruk citranya, atau mendadak dicap jelek tanpa melakukan
apapun hanya karena kesalahan penulisan nama. Inilah masa di mana kecepatan
lebih diutamakan daripada ketepatan.
Ketika semua ini terjadi, yang paling
pertama disalahkan oleh orang adalah stasiun TV tersebut, dianggap tidak benar,
dianggap ceroboh atau teledor. Bagi
sebagian orang kritik dan protes orang-orang terhadap stasiun TV di berbagai
media sosial adalah hal yang biasa. Namun, bagi orang-orang yang masih peduli
dengan keadaan media massa Indonesia, hal itu ibarat sebuah tamparan keras di
muka para pekerja media massa, tepatnya para jurnalis negeri ini.
Salah satu fungsi media massa adalah
untuk memberikan informasi. Namun, informasi yang diberikan bukanlah informasi
yang sembarangan atau asal-asalan. Sebelum informasi tersebut disiarkan melalui
media massa dan disaksikan jutaan orang, informasi itu seharusnya dipastikan
terlebih dulu kebenarannya. Fakta dan data adalah hal yang harus selalu
dipastikan dan diperhatikan oleh seorang jurnalis.
Menjalankan fungsi media massa sebagi
pendidik masyarakat sudah selayaknya kaum jurnalis yang mengisi media massa
memberikan pembelajaran yang baik untuk khalayaknya. Hal-hal yang bersifat
fundamental seperti verifikasi, riset, dan observasi adalah hal yang harus
dilakukan untuk mendukung setiap hal yang disampaikan.
Menurut Ary Gunawan Usis, seorang
pemerhati media yang juga mantan wartawan dalam artikelnya tentang pendidikan
jurnalisme di Koran Tempo(18/2) bahwa
“pendidikan jurnalisme dapat dianggap sebagai hulu dari proses pengembangan
pers dan jurnalisme yang bermutu”. Penulis sangat setuju dengan pendapat ini
karena menurut penulis, semua kesalahan yang terjadi atau kegagalan-kegagalan
media massa menampilkan tayangan atau memaparkan informasi yang tidak baik atau tidak cukup benar adalah karena kurangnya pendidikan
jurnalisme yang mereka punya.
Oleh sebab itu sangat dirasa penting
untuk memperdalam dan memperkuat pondasi dasar setiap pekerja jurnalisme dalam
hal ke jurnalistikan mereka. Namun, tidak hanya orang yang berlandaskan pendidikan
jurnalisme yang bergerak di dunia jurnalisme dan menghasilkan karya-karya
jurnalistik yang bagus. Wartawan atau reporter televisi tidak semuanya memilki
dasar jurnalistik. Banyak dari jurnalis Indonesia yang pendidikan dasarnya
bukan berasal dari jurnalistik, tapi dari berbagai macam disiplin ilmu.
Seharusnya bisa dikatakan bahwa semua
isi siaran di berbagai media massa adalah tanggung jawab para lulusan dengan
ilmu yangs sesuai dengan hal tersebut, seperti para sarjana ilmu komunikasi.
Menurut beberapa alumni fakultas ilmu komunikasi di salah satu universitas di
Kota Bandung yang penulis temui, pendidikan yang ada di bangku kuliah dengan
fakta di lapangan ketika bekerja di dunia jurnalistik sangat terasa berbeda.
Mengenai perbedaan yang terjadi di
bangku kuliah dan di lapangan menurut penulis merupakan hal yang harus sangat
diperhatikan oleh lembaga pendidikan jurnalisme. Untuk menghasilkan sumber daya
berkualitas di lapangan , dibutuhkan pengetahuan mengenai lapangan secara
jelas. Jangan sampai apa yang dijelaskan di bangku kuliah malah berlawanan
dengan apa yang terjadi di lapangan. Hal ini juga merupakan faktor penyebab
tidak berkualitasnya karya jurnalistik yang dihasilkan. Kebanyakan hanya mengejar
kecepatan dan mengabaikan ketepatan.
UNESCO telah membuat sebuah panduan
untuk pendidikan jurnalistik. Dalam panduan tersebut dikatakan bahwa dalam
melakukan pendidikan jurnalisme harus diperhatikan tiga poros utama. Poros
pertama adalah poros yang mengajarkan norma, nilai, perangkat , standar, dan
praktik jurnalisme. Poros kedua menekankan pada aspek-aspek sosial, budaya,
politik, ekonomi, hukum dan etika dari praktik jurnalisme , baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Adapaun poros ketiga terdiri atas pengetahuan
umum mengenai dunia dan tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme.
Berkaca dari tiga poros yang telah
ditentukan UNESCO terhadap pendidikan jurnalisme tersebut, apakah Indonesia
telah menerapkan ketiga hal tersebut dalam melaksanakan pendidikan dalam dunia
jurnalisme. Apakah jurnalis Indonesia sudah cukup memiliki etika untuk tidak
menerima amplop , atau malah memberikan nomor rekeningnya demi sebuah
pemberitaan?Apakah jurnalis Indonesia sudah cukup pengetahuan umumnya tentang
dunia?apakah jurnalis Indonesia bisa membedakan mana norma dan nilai yang harus
diperhatikannya?
Terlepas dari ketiga poros pendidikan
jurnalisme, para calon pendidik lewat media massa ini juga harus memahami
hal-hal sederhana yang sangat penting nilainya, yaitu EYD (ejaan yang
disempurnakan). Bahasa media adalah bahasa yang amat sering menjadi acuan bagi
banyak orang utnk diadopsi menjadi bahasa mereka sehari-hari. Jika bahasa yang
dipaparkan media secara terus-menerus mengalami kesalahan maka bersiaplah menerima
dampak kesalahan bahasa yang lebih besar di masyarakat.
Penulis sangat berharap agar
lembaga-lembaga yang menjalankan pendidikan jurnalisme sekarang. Seperti di
universitas-universitas negeri maupun swasta dapat dengan benar memberikan
pembelajaran yang tepat untuk para calon jurnalis. Untuk menjadi pendidik yang
baik bagi para penikmat media massa, para calon jurnalis haruslah menjadi orang
yang terdidik pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar