Jumat, 22 Juli 2016

GADIS TEWAS DALAM BOX.. LUAR BIADAB!!

Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah program liputan criminal di sebuah TV swasta. Dalam program ini dibahas sebuah kasus pembunuhan. Pembunuhan seorang gadis cantik yang mayatnya meringkuk dalam sebuah box plastic dan dibuang dipinggir jalan.. Dari keterangan yang didapatkan diketahui bahwa sang gadis adalah seorang karyawati di sebuah Bank swasta dalam negeri. Beberapa hari setelah mayatnya ditemukan, diketahui bahwa tersangka pembunuhnya adalah seorang pengusaha keturunan dengan usia 47 tahun.
Dari keterangan tersangka, ia membunuh sang gadis karena sang gadis menghinanya. Hinaan yang didapat sangat menyakitkan hati dan membuat emosinya tidak terkendali. Hinaan macam apakah itu? Ternyata, sebelum si tua menghabisi nyawa sang gadis, mereka baru saja menikmati dosa zina. Ya benar, si tua mengaku telah menyewa sang gadis dengan biaya Rp 4 juta untuk menemaninya di apartemen pribadinya malam itu. Setelah uang yang dikeluarkan untuk sang gadis, bukan kesenangan yang ia dapatkan tapi ternyata si gadis menghina pak tua dengan mengatakan bahwa “permainan” pak tua lemah, dan tidak menyenangkan.
Dari peristiwa tersebut, ada beberapa hal yang ingin saya bahas :
1.      Dari peristiwa ini dapat saya tarik kesimpulan, bahwa menjadi pegawai Bank saja, tidak cukup bagi seorang gadis ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di ibukota. Terbukti ia bekerja tambahan untuk mendapatkan penghasilan lebih. Jika ia yang bekerja sebagai pegawai bank swasta saja bisa sambilan menjadi “penjual diri”, bagaimana yang masih duduk di bangku kuliah atau sekolah?atau malah pengangguran.??
2.      Pembunuh mengaku mengenal korban dari temannya yang memberikan rekomendasi. Dari hal ini dapat diketahui bahwa korban adalah “pemain” lama yang cukup dikenal. Dan bisa jadi tidak bekerja sendiri dan memiliki jaringan luas dan sistematis.
3.      Peristiwa pembunuhan terjadi di apartemen pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai tempat seperti hotel, apartemen, losmen, kosan, adalah tempat2 yang membebaskan pemiliknya untuk membawa tamu lawan jenis untuk menginap di dalamnya. Tidak ada pengawasan secara “norma”. Yang ada hanya CCTV yang tidak mampu memberikan sanksi.
4.      Pembunuh menceritakan peristiwa pembunuhan dengan sangat santai, seolah-olah ia tidak merasa bersalah dan wajar rasanya memberikan hukuman bagi orang yang berani menghinanya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi snag pak tua, wanita yang dibunuhnya ini tidak ada harganya sama sekali. Dia bercerita seolah2, wanita yang telah dibayarnya tidak harus menghinanya. Mungkin baginya “sampah” tak patut menghina “pemungut sampah”
Melihat peristiwa seperti ini telah acapkali terjadi di negeri ini. Entah sudah berapa kali peristiwa berbau seksual berujung nyawa melayang terjadi pada bangsa ini. Namun sepertinya yang bisa dilakukan Negara hanya menangkap pelakunya, memenjarakannya. Selesai.

Padahal andai Negara bisa lebih waspada dan melakukan tindakan pencegahan, maka hal seperti ini  sangat kecil kemungkinan  terjadi. Jika ingin lebih memahaminya, saya akan bahas solusi apa yang harusnya dilakukan pemerintah.

1.      Pemerintah hendaknya menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini membuat masyarakat tidak kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak perlu mencari pekerjaan yang tidak halal. Memang susah karena Negara ini Negara besar, namun, jika Negara mampu memanfaatkan semua sumber daya alam, dan pengelolaan zakat yang tepat maka saya rasa Negara akan mampu memberikan kesejateraan pada masyarakatnya. Hal ini bisa dilakukan dari tingkat pemerintahan terkecil semisal kecamatan. Pemerintah juga harus memberikan pemahaman yang jelas pada masyarakat dengan program pendekatan diri pada Allah SWT agar masyarakat dapat menjadi pribadi yang mensyukuri nikmat yang telah ia miliki dan tidak berusaha mencari hal-hal yang tidak halal.
2.      Pemerintah harusnya lebih jeli melihat bisnis prostitusi negeri ini, dari yang kelas teri sampai kelas paus biru. Saya yakin pemerintah hanya berpura-pura tidak tahu. Contoh kasus di sebuah provinsi ,lokasi prostitusi ditutup oleh pemerintah kota, tapi tetap saja para pelacur berbari di malam hari di pinggir jalan mencari penyewa jasanya. Bukan prostitusinya yang harusnya dihilangkan, dibubarkan atau direhabilitasi, tapi buat aturan tentang ZINA nya, bahwa semua pelaku zina akan dihukum cambuk, atau jika terlalu berat untuk mengikuti Hukum Islam, para pezina didenda 500 juta rupiah. Mungkin para pelacur tidak akan berzina, bukan karena takut pada Allah, tapi takut didenda 500 juta. Tapi ya sudahlah, minimal mereka sudah menghindari zina. Itu jika pemerintah mau TEGAS. Dan tidak takut ga kebagian percikan dari bisnis HARAM tersebut.
3.      Telah berkali-kali terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan di ruan-ruang pribadi, baik milik pelaku ataupun korban. Hal ini menunjukkan pemerintah sangat tidak peduli dengan batasan pergaulan sosial lawna jenis. Pemerintah seharusnya membuat perda, atau bahkan undang-undang agar hotel, apartemen, losmen, dsb lebih ketat dan selektif pada para penghuninya dalam hal membawa tamu lawna jenis. Jika perlu harus menunjukkan KTP, KK, Buku Nikah, dll. Hal ini guna mengantisipasi hal-hal berbuntu kriminalitas seperti yang telah sering terjadi.
4.      Pembunuh harusnya dibunuh. Itulah hukuman paling adil, apalagi pembunuh yang baru saja berzina. Tapia pa daya, hukum Negara ini tidak begitu, pembunuh hanya akan dihukum penjara, atau jika itu berencana, hanya akan dihukum seumur hidup. Amat susah untuk mendapatkan hukuman mati di negeri ini, sehingga para pembunuh menganggap nyawa seornag manusia itu tidak seberapa.

Sudah tampak kerusakan negeri ini, sudah jelas betapa sistem hukum peninggalan penjajah ini tidak menimbulkan efek jera dan efek takut bagi para pelaku kriminalitas. Masihkah kita akan bertahan? Saatnya kita menyadari bahwa hanya aturan Allah lah yang pantas diterapkan di bumi ini. Layaknya manual book untuk sebuah mesin. Allah sudah menurunkan manual book Nya untuk kita yaitu Al quran. Akankah kita hanya menyesali dan menyesali setiap perbuatan dan kerusakan karena mengabaikan hukum Islam tanpa berusaha memperbaiki dan menghindarinya??

Telah kusampaikan Ya Rabb, Saksikanlah!!

Walahuallam..

Minggu, 03 Juli 2016

SIAPA YANG KRISIS IDENTITAS?



                Beberapa hari yang lalu seorang teman menandai saya di media sosial FB. Ia meminta saya untuk membahas atau memberikan komentar dengan diksi”bantahan” untuk sebuah tulisan luar biasa dari sebuah situs youthproactive.com. Awalnya saya tidak tertarik, sangat tidka tertarik, karena memang saya sedang malas membahas sesuatu yang hanya akan menimbulkan polemic atau perdebatan. Tapi menjadi sebuah tanggung jawab secara moral dan intelektual bagi saya yang dengan lancang menganggap diri ini seorang “pemikir: untuk menanggapi sebuah diskursus yang dikemukakan oleh “pemikir” lain. Oleh sebab itu saya mencoba untuk mengomentari sebuah tulisan dengan judul “Anak Muda dan Ancaman Fundamentalisme Agama”.

                Pertama saya akan membahas tentang judul yang diberikan oleh penulis. Saya tertarik dengan susuna kata “Ancaman Fundamentalisme Agama”. Dari judul saja, saya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa sang penulis “alergi” dengan orang-orang yang menjadikan agama sebagai poros hidupnya. Secara umum, fundamental memiliki arti sebagai sesuatu yang mendasar. Core atau pondasi untuk sesuatu. Orang-orang yang disebut fundamentalis, adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh dan militant memperjuangkan sesuatu. Teman dari fundamentalis adalah para radikalis, orang-orang yang berpikir mengakar, mengkaji sesuatu dari ujung permasalahannya. Menjadi menarik bagi saya sebagai seorang yang memiliki agama, ketika ada sekelompok orang , dalam hal ini anak-anak muda yang beragama, dianggap berbahaya “HANYA” karena mereka berpikir secara mendasar dan mengakar terhadap agama yang dianutnya. Penulis mungkin tidak sadar bahwa agama sudah menjadi keharusan untuk dijadikan landasan berpikir yang utama, landasan berperilaku paling utama dalam hidup. Namun, menjadi pertanyaan bagi saya ketika penulis menganggap “bahaya” untuk kaum fundamentalis, bagaiamana penulis memandang “agama” dalam hidupnya.?

 Walau tidak tertulis secara jelas, bisa saya pastikan bahwa tujuan tulisan ini adalah fundamentalis untuk agama “ISLAM”. Dengan berbagai contoh yang diberikan, mulai dari imam masjid, jenggot, dakwah, dan berbagai diksi yang cenderung ke arah Islam. Penulis menyinggung sebuah tulisan dari seornag penulis novel best seller negeri ini tentang “menghormati orang yang tidak berpuasa”. Jika penulis membaca tulisan itu mungkin dia akan sadar apa yang dimaksud sang Novelis adalah agar terjadi “saling” menghargai, bukan berarti Islam harus lebih dihormati, lebih dihargai,. Pada kenyataannya terjadi standar ganda dalam perilkau toleransi terhadap Islam di beberapa tempat yang Islam menjadi minoritas. Yang saya harus komentari adalah kalimat “sialnya tulisan ini banyak diamini anak muda lain”. Kata “sialnya” menunjukkan rasa tidak sepakat, rasa tidak terima, seolah-olah, mengamini sebuah diskursus yang dikemukakan di dunia maya adalah sebuah “kesalahan” dan layak dikatakan sebuah “kesialan”. Penulis mulai menunjukkan siapa dirinya. Dari awal tulisan ini menentang  orang-orang yang “menjustifikasi”, tanpa sadar penulis jauh lebih “beraksi” dalam hal justifikasi pada orang lain.

Menurut Yudi Latif dalam sebuah diskusi tentang agama, “ agama berkaitan dengan sesuatu yang suci, sedari awal memang agama mengandung kekuatan ambivalen : menakjubkan dan menghancurkan”. Agama bisa dipandnag menakjubkan ketika menawarkan atau menyediakan sebuah ketenangan atau kebahagiaan hidup bagi penganutnya, tapi juga bisa menghancurkan ketika agama mengekang atau menghukumnya untuk sebuah perilaku yang mungkin “nyaman” atau “harus” dilakukannya. Orang-orang yang menilai agama sebagai perusak atau penghancur, adalah orang-orang yang tidak mampu berpikir tentang agama secara lebih “terbuka” tidak bisa memandang bahwa agama bukan perkara apa yang kau bisa lihat dan raba saja, tapi agama bicara tentang sesuatu yang derajatnya tinggi, jauh, tak tergapai oleh orang-orang yang hatinya tak tersentuh dengan kata “iman”. Oleh sebab itu agama memiliki peran sentral dalam berbagai kegiatan. Tidak hanya aktivitas kemasyarakatan, bahkan Negara pun , dibangun atas dasar Agama. Pentingnya visi spiritual berdimensi etis sebagai jangkar pertumbuhan dan perkembangan bangsa disadaru sepenuhnya oleh para pendiri negeri ini. Dalam UUD 1945 terdapat sebuah pengakuan tertulis secara gambling bahwa kemerdekaan ini didapatkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Lalu mengapa anda mengatakan bahwa fundamentalis itu berbahaya???

Tulisan ini dengan mudahnya menuliskan sebuah hasil suvey tentang “toleransi” antar umat beragama dengan cara menanyakan pada siswa SMA 88%  muslim, apakah agama anda paling benar? dan jawabannya 97% setuju. Menurut saya, siapapun akan menjawab setuju jika ia ditanya apakah agamanya paling benar. Menjadi lucu ketika kita menganut sebuah agama, dan ketika ditanya apakah anda merasa agama anda paling benar kita menjawab, tidak… agama anu lebih benar dibanding agama saya. Menjadi unik ketika penulis menyatakan bahwa jawaban anak2 SMA tersebut mengindikasikan bahwa anak-anak muda Indonesia telah dimasuki pemikiran-pemikiran intoleran. Sungguh simpulan yang terlalu gegabah untuk sebuha lembaga riset.

Sungguh sangat banyak yang ingin saya komentari dari tulisan ini. Tapi saya rasa lebih penting jika saya langsung pada simpulan saja, karena pada dasarnya simpulan inilah yang ingin saya “jejalkan” pada kepala pembaca. Ketika anda sang penulis mengatakan bahwa anak muda yang hijrah, atau mulai berdakwah terlabeli “krisis identitas” maka menurut saya, kaum2 yang melbeli merekalah yang harusnya bertanya dan berkaca, “apa identitas saya”, “seperti apa identitas saya”. Para pendakwah, anak-anak muda yang mendedikasikan hidupnya dan aktivitasnya untuk kegiatan dakwan telah berani menunjukkan pada dunia”identitasnya”.. identitas saya “ISLAM”, entah anda yang buta, atau “hati” yang sudha kelam, sehingga dengan gampang anda semua bilang “mereka, anak-anak muda yang krisis identitas, melencek dari aspek kultural dan strktural… bla bla bla …. “ sungguh saya hanya tersenyum asam membacanya.

Dengan mudah juga penulis menyatakan bahwa kaum pemuda dengan gampang mengatakan orang lain kafir. Sangat lucu ketika para anak muda yang mulai belajar Islam, mulai mendakwahkan Islam dikatakn mengkafirkan orang lain karena ornag lain tersebut beda agama, atau tidak melakukan sholat, padahal jelas Sabda Rasulullah, bahwa sholat adalah pembeda antara orang kafir dan orang Islam. Ketika seseornag tidak melaksanakan sholat, dia telah layak disetrakan dengan orang kafir.  Lalu menyatakan bahwa agama lain salah dikatakan sebuah tindakan tidak terpuji, atau salah. Maka saya akan bertanya, jika ada orang yang mengatakan bahwa 2+2= 5.. apakah kita akan membiarkan? Islam adalah agama dakwah, Islam tersebar dan membesar karena “proses penyampaian pesan”. Islam menerapkan apa yang disampaikan Laswell untuk pengertian komunikasi “ who says what in which channel to whom with what effect”. Menyatakan bahwa 2+2=5 adalah pernyataan yang tidak tepat Karena 2+2=4 bukan merupakan sebuah penghinaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Zakir Naik dalam sebuah smeinarnya. Menyatakan bahwa anda salah, bukan sebuah penghinaan, jadi jangan samakan orang Islam sebagai penghina hanya karena sering mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh agama lain, atau penganut agama Islam yang tidak menjalankan Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW.

Islam agama sempurna, jika anda terganggu ketika orang bilang Islam adalah agama paling benar, seharusnya anda semua bersyukur masih ada rasa toleransi mereka untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama paling benar, karena bisa jadi agama lain tidak paling benar tapi berpeluang disebut benar. Sementara jika pertanyaan itu dating pada sata, saya akan berkata Islam adalah agama “BENAR” sedangkan agama lainnya “SALAH”. Jika anda terganggu dengan jawaban itu, dan mengatakan bahwa saya adalah contoh orang tidak toleran, sungguh saya lebih bahagia dilabeli seperti itu. Bagaimana mungkin saya dapat mengatakan agama lain benar, sementara saya memeluk sebuah agama yang komprehensif, detil dan kontekstual seperti Islam. Logis dan tidak dogmatis, cerdas dan mencerdaskan. Bagimana mungkin saya mengatakan agama lain benar, sementara agama lain tidak selengkap agama saya mengatur, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan. Kasarnya, carikan saya agama lain yang mampu menjelaskan dan mengatur aktivitas umatnya dari bangun tidur sampai tidur lagi, mengajarkan bagaimana cara buang air, cara makan, berhubungan bada, mebersihkan diri, menyembelih binatang, bahkan mengajari cara menghukum, berperang dan segala hal.
Jika karena saya memeluk Islam, dan menyatakan bahwa ISLAM adalah agama BENAR dan yang lainnya SALAH saya di CAP orang yang krisis identitas, berdakwah hanya karena aspek budaya popular kekinian, maka pertanyaan saya adalah. Apa yang anda perjuangkan? Ketidakjelasaan, keharmonisan semu?atau mungkin ideologi atas dasar kecerdasan logika semata. Maka tolong jawab. “Siapa yang krisis identitas?”


A.M


Kamis, 30 Juni 2016

Karena Kami Anak Polisi

Karena Kami Anak Polisi
Menjadi anak polisi merupakan anugrah yang tidak semua orang miliki, sama aja sih sebanarnya ketika anak pegawai bank , guru, TNI, atau pekerjaan apapun di dunia ini berkata hal yang sama. Tapi menjadi unik ketika menjadi anak seorang polisi, tau apa uniknya???karena suka dukanya jelas diceritakan. Kenapa? Karena profesi polisi akhir-akhir ini, eh mungkin juga sejak dulu, atau entah sampai kapan akan banyak mengalami kontroversi.

Bagaimana tidak? menjadi polisi membuat seseorang mengalami sebuah “pemaknaan” baru dalam sistem sosial. Menurut Peter Berger dalam bukunya  Tafsir Sosial Atas kenyataan,(sok sok ilmiah) sebuah  makna muncul dari intepretasi lingkungan sosial terhadap pengalaman, pengetahuan, serta perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dimaknai tersebut.  Ketika seorang polisi menyanyi dan berjoget India, dalam waktu singkat ia menjadi terkenal. Ketika seorang polisi memiliki uang banyak di rekeningnya, maka muncul istilah “rekeneing gendut polisi”, ketika ada polisi berwajah tampan, maka  “polisi ganteng” menjadi viral. Dan banyak kasus lain, seperti di situ saya merasa sedih, parker atau berhenti, belum lagi kasus tilang menilang yang berbuntut panjang…..dan kasus-kasus lain yang berhubungan dengan dunia kepolisian. Polisi banyak dipandang negatif walau tidak sedikit juga dinilai positif... tapi kita tidak akan bicara tentang polisi kali ini, saya akan bercerita tentang bagaimana menjadi anak seorang polisi. Menjadi anak polisi tidak hanya bisa memakai atribut kepolisian kapan saja, mulai dari topi, baju, celana, sepatu polisi... sesuka hati.. tapi menjadi anak polisi lebih dari itu pengalamannya... 
Intinya menjadi anak polisi, tak akan lepas dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan polisi . Lewat tulisan ini akan saya sampaikan beberapa kisah saya, atau “kami”, karena saya tahu banyak pengalaman sama yang akan dirasakan oleh anak-anak polisi yang membaca tulisan ini. Jika ada tambahan cerita anda bisa komen dan sampaikan lewat saya…
Inilah beberapa curahan hati anak polisi, di hari Ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia. Dirgahayu POLISI Indonesia. Tetaplah menjadi pengabdi dan penganyom masyarakat yang setia, walau banyak yang mencaci dan menghina.. (aseeekkk) selamat menikmati… cerita2 aneh...yang pernah saya alami..

#NAMA PANGGILAN
          Sudah bukan hal aneh lagi masa kecil kita diisi oleh hal-hal menarik yang tak mudah untuk kita lupakan. Salah satunya adalah dipanggil dengan nama ayah. Entah siapa yang memulai tradisi aneh ini, tapi hal ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Misal : ada teman yang bernama Ilham, dan ayahnya bernama Syamsul. Maka kita tidak akan mendengar nama Ilham dipanggil, tapi “Syamsul” adalah nama barunya dalam pergaulan.

     Terhitung mulai tanggal nama ayahnya terungkap di khalayak umum. Menjadi seorang anak polisi membuat kami“dirugikan” dalam aturan tak jelas ini. Memiliki orang tua yang menggunakan seragam komplit dengan nama terpampang besar dan jelas di dada kanan benar-benar sebuah petaka bagi kami. Tidak jarang kami meminta ayah  tidak menjemput atau mengantar kami menggunakan baju dinas coklat kebanggaan itu. Tapi apa hendak dikata, kami diantar sebelum beliau ke kantor, dan dijemput ketika beliau tengah bekerja. Dan benar saja dengan mudah para “mata-mata” akan dengan mudah mengungkap identitas ayah kami. Dan dengan cepat pula kami berubah nama.
Beruntungnya kemampuan membaca teman-teman tidak begitu bagus dulu ketika masih kecil, apalagi harus mampu mendapatkan info dalam waktu yang singkat dan jarak yang tidak terlalu dekat. Kadang terjadi kesalahan penyebutan atau kesalahan ejaan. Hahha
Dipanggil dengan nama ayah ini tidak begitu menyulitkan atau bencana bagi kami setelah menjadi kebiasaan. Kemampuan menyesuaikan diri dengan panggilan baru sudah menjadi kewajiban bagi kami anak polisi. Toh tidak terlalu masalah, karena banyak cara menemukan nama orang tua teman-teman yang lain. Kami para anak polisi memiliki keterampilan “investigasi” yang baik, kami bisa pergi ke rumah mereka, melihat undangan perkawinan, melihat papan nama di atas pintu, atau juga melakukan cek di Yellow Pages, menyesuaikan nama dan nomor telpon sang teman. Hmmmm begitu niatnya usaha yang kami lakukan untuk sekadar mendapatkan nama orang tua teman. Luar biasa bukan?
          Sebagai tambahan selain panggilan yang berubah sesuai nama orang tua, kami anak polisi juga sering mendapat panggilan-panggilan aneh lainnya. Pak Pol, Anak Kolong, Preman Asrama, dan macam-macam. Intinya menjadi anak polisi membuat kami lebih mudah mendapatkan panggilan lain selain nama kami yang sebenarnya.
#TERKENAL = TUMBAL
          Menjadi abdi negara yang berinteraksi dengan masyarakat secara langsung membuat profesi polisi sangat terkenal di tengah-tengah kehidupan sosial. Tidak terlalu sulit menjelaskan deskripsi pekerjaan yang dilakukan polisi. Semua orang tau apa itu POLISI. Kami anak polisi pun sangat terbantu dengan hal tersebut. Ketika ditanya guru atau orang lain, “pekerjaan orang tuanya apa dek?” kami tinggal jawab “POLISI”. Pertanyaan akan berhenti disitu. Berbeda dengan teman-teman yang menjawab, “direktur”,”pegawai”, “wirausaha” atau “karyawan” jawaban-jawaban tersebut akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain.
          Karena profesi yang sangat terkenal itulah, kami para anak polisi juga ikut kena imbasnya. “Arif mana?”, “arif itu, yang anak polisi” sangat gampang untuk membuat kami dikenali dengan embel-embel anak polisi. Tidak hanya di lingkungan sekolah, di lingkungan permainan pun para anak polisi akan dengan lebih cepat dikenali. Karena dikenalnya kami sebagia anak polisi hal ini menimbulkan dampak-dampak yang kadang kami rasakan seperti menjadi tumbal dalam lingkungan pertemanan. Beberapa peristiwa yang sering kami alami dalam format percakapan adalah seperti ini:
a.    Kan anak polisi
T       :  “Rif, kamu jadi ketua kelas ya”,
AP      : “loh, kenapa saya?
T       : “kamu kan anak polisi”
AP      : “???????? (emang apa hubungannya)”
T       : “rif, ketua kelompok ya”
AP      : “kok saya?”
T       : “KAN KAMU ANAK POLISI”
AP      : Semua aja “kan anak polisi”, besok kamu ajak saya makan di restoran, terus suruh saya bayar, dan jawab “kan kamu anak polisi”( mereka kira anak polisi bisa jadi pemimpin dengan mudah, beberapa sih iya, tapi ga semuanya)
b.  Lalu Lintas
T       : “ berangkat yuk…”
AP      : “Siiippp… yuk…(sambil pakai helm)”
T       : “ngapaiin pakai helm?”
AP      : “YA IYALAH.. kan bawa motor, ya pakai helm lah”
T       : “kamu kan anak polisi, ngapain pakai helm, kita kan juga dekat, ga lewat pos polisi??”
AP      : “emang kalau anak polisi aspal jadi lunak kalau  jatuh dari motor?sobat pakai helm itu bukan perkara takut ditilang  sama polisi, tapi kesadaran menjaga keamanan dan ketertiban berlalu lintas (azeeeeeeeeeeeeeeek sok iye, pesan sponsor) hahahahha

Tidak jarang juga beberapa teman meminta nomor handphone ayah untuk “menyelamatkan” mereka dari tilang atas pelanggaran lalu lintas yang mereka lakukan. Dengan harapan bisa dibebaskan karena punya koneksi dengan polisi.

Saya sampaikan pada teman-teman semua, kami anak polisi tidak “kebal hukum”. Kami juga manusia biasa yang kalau salah akan tetap dihukum. Kami tidak akan dengan mudah begitu saja “menjual” nama orang tua kami untuk lolos dari jerat hukum. Walau ada beberapa yang melakukan hal seperti itu, tapi banyak diantara kami yang malah lebih parah “dihukum” apabila melakukan pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran lainnya.


Kami anak polisi lebih dahulu dirazia polisi di rumah, sebelum di razia di jalanan. Setiap kami ingin pergi keluar rumah, tidak jarang orang tua kami selalu bertanya “SIM, STNK?Helm jangan lupa, jangan ngebut, jangan terobos lampu merah!!” hmmmm… itu yang kami rasakan. Penting bagi kami anak polisi untuk menjaga nama baik kesatuan orang tua kami, jangan sampai kami anak polisi , malah kami yang merusak citra polisi. Ya kann sobatt??
Menjalani kehidupan sebagai anak polisi tentu tak akan lepas dari pengalaman berinteraksi dengan polisi dan urusan hukum. Saya akan ceritakan sebuah pengalaman unik saya berkaitan dengan tilang dan polisi.
Suatu hari saya tengah mencari alamat di sebuah kota di Sumatera Barat, saya clingak-clinguk , lihat kiri kanan, dengan kecepatan kurang dari 20 km/jam. Di sebuah persimpangan saya melihat tanda dilarang lewat kecuali roda dua, saya pun meneruskan perjalanan dengan santai. Beberapa ratus meter, saya melihat lagi lambang dilarang lewat, karena toko yang saya tuju jaraknya sudah dekat saya lanjutkan perjalanan. Tidak sampai beberapa meter, seorang polisi menghentikan saya dan meminta surat-surat, karena saya tidak merasa salah saya dengan tenang ikut perintah yang diberikan oleh polisi.
          Saya dibuatkan surat tilang dan diminta sidang dua minggu ke depan, ketika sang polisi tengah menulis saya iseng bertanya,
S       :  “saya ga bisa bayar di bank aja pak?”
P        : “sidang aja, g usah bayar di bank”
S       : “kata ayah saya lebih baik bayar di bank aja pak”
P        : “ayah kamu tau darimana, ayah kamu polisi?”
S       : “iya pak.. ayah saya polisi”
P        : “jangan boong kamu, kalau kamu memang anak kandung polisi, mana?coba telpon”
S       : (saya tidak ingin menelpon aya saya, tapi karena diminta akhirnya saya telpon) “Yah.. ini ada rekan ayah yang mau bicara, arif tadi ditangkap karena melanggar lalu lintas”
(terjadi percakapan beberapa saat, polisi tertawa, lalu meneyerahkan SIM dan STNK saya sambil berkata “hati-hati ya dek”

Sampai saat ini saya tidak tahu apa pembicaraan mereka, bisa jadi sang pak polisi teman ayah saya dulu saat sekolah kepolisian, atau mereka saling kenal sehingga saya dianggap anak sendiri. Atau saya dilindungi karena sang bapak  satu corps dengan ayah saya.  Atau bisa juga pak polisi menyadari saya tidak bersalah karena saya tidak tahu, tidak melihat, tidak senagja, dan dimaafkan. Hmmmmm . Walhuallam..
         
#MAIN DI KANTOR
Kerja yang padat dan aktifitas yang banyak serta tingkat disiplin yang tinggi membuat Polisi tidak mudah meninggalkan kantor dengan mudah, apalagi jika polisi tersebut berada di Unit Sabhara, Provost dan lainnya yang mengharuskan mereka stand by  di kantor. Jangan harap kami anak polisi bisa dengan mudah minta jemput, minta antar, minta temani ke pasar secara tiba-tiba. Begitu juga ketika kami pulang sekolah, saat masih TK dan SD, ketika usia kami belum bisa dipercaya tinggal sendiri di rumah. Kami yang “beruntung” memiliki ayah dan ibu yang bekerja biasanya sudah biasa “melabuhkan” diri ke kantor orang tua kami. Sebagai anak polisi, biasanya memiliki rumah disekitar kantor polisi, atau jarak yang tidak terlalu jauh dari kantor polisi sehingga “bermain” di kantor polisi adalah hal yang biasa bagi kami.

Masih dengan pakaian lengkap sekolah, Kami sudah  cukup bahagia bisa berlarian di lorong-lorong ruangan kantor polisi. Memasuki ruangan demi ruangan untuk bermain petak umpet . Biasanya kami akan dengan mudah dikenali karena seringnya kami dibawa ke kantor sejak kecil sehingga jarang dimarahi oleh polisi-polisi atau pegawai lainnya. Sampai hari ini kami anak polisi akan memanggil polisi lain dengan sebutan “om”. Kami diajarkan untuk memanggil rekan-rekan polisi ayah dengan sebutan “om” sampai sekarang. Mungkin hal tersebut memeiliki makna simbolik tersendiri dalam dunia kepolisian. Hahah..
Di kantor polisi kami memiliki berbagai aktifitas seperti menaiki motor-motor tangkapan dan barang bukti yang berjejer atau bermain di lapangan kantor polisi yang luas (hampir semua kantor polisi memiliki lapangan yang luas). Cukup menyenangkan juga ketika kami bisa ke ruang penjara kantor polisi dan memanggil-manggil tahanan yang sedang tidur tanpa pakaian “hei… pak penjara..pak penjara, banguun ”saat mereka terbangun, kami biasanya akan lari ketakutan hahaha..… pengalaman yang tak akan terlupakan.
Ketika perut lapar dan kerongkongan haus, biasanya kami akan ke ruangan orang tua kami yang sedang sibuk bekerja, dan menyampaikan keluhan kami. Dan ujungnya kami akan diantarkan ke kantin yang dipenuhi polisi-polisi yang sedang 3N (ngopi,ngerokok,ngobrol). Pilihan utama kami biasanya mie goreng atau penganan-penganan kecil dengan minum teh botol atau susu dingin cukup mengenyangkan. Setelah makan biasanya kami kembali bermain, naik ke mobil patroli , membaca berbagai macam rambu-rambu lalu lintas di ruang tes SIM dan berbagai kegiatan lainnya. Intinya bermain di kantor polisi adalah bagian kehidupan bagi kami anak-anak polisi.

#PANGGILAN TUGAS
          Konsekuensi memiliki orang tua sebagai pengayom masyarakat membuat kami menyadari bahwa kami harus “berbagi” orang tua  dengan masyarakat. Ketika teman-teman kami di bulan Ramadhan banyak yang bisa berbuka dan sahur dengan orang tua mereka, kami harus rela berbuk
a dan sahur tanpa ayah kami yang tengah melakukan pengawalan atau pengawasan di berbagai titik keramaian selama Ramadhan. Untuk yang non muslim, ketika malam Natal dimana seharusnya bisa berkumpul dengan keluarga, sang Ayah masih dihadapkan dengan operasi Lilin. Begitu juga dengan malam lebaran bagi Muslim yang harus dilewati tanpa ayah yang tengah berjaga pada operasi ketupat.  
Ketika banyak orang sibuk di jalanan dan menghadapi kemacetan di perjalanan liburan, kami hanya bisa dirumah menanti ayah kami pulang mengatur lalu lintas agar perjalanan mereka yang kadang “menyalahkan” polisi atas kemacetan dapat berjalan lancar dan mereka bisa sampai di tempat liburan dengan nyaman. Susah membayangkannya? Ya iyalah.. hanya kami anak polisi yang bisa merasakannya.
Itu baru masalah pergi bertugas di jalan, pernah bayangkan ketika orang tua kami, izin untuk pergi menangkap perampok, mengejar pembunuh, atau  membongkar sarang judi, miras atau narkoba. Memang pamitnya cuma bilang "pergi dinas", tapi di rumah, kalian akan melihat beliau membersihkan senjata, mengisi peluru, memakai rompi, memakai sepatu, semua terasa begitu mencekam, walau beliau melakukannya dengan santai..
Ketika mereka pergi, dan bersalaman dengan kami, rasanya sedih dan ingin rasnaya bilang "ayah ga usah pergi, di rumah aja"..  beda rasanya ketika kalian bersalamn saat orang tua kalian pergi dinas keluar kota untuk rapat atau seminar,bukan kami mengecilkan perjuangan ornag tua kalian dalam bekerja, kami hanya bercerita tentang "beda rasa"..ketika ayah2 kami pergi... kami tau mereka pergi keluar untuk bertaruh hidup mati dengan penjahat, yang mungkin saja tidak akan kembali lagi, atau kembali dalam keadaan terluka...hmmm...

Ya itulah yang kami rasakan...sedikit cerita tentang anak polisi yang terluka hatinya setiap mendengar polisi dihina oleh teman dekat kami sendiri, atau polisi dimaki2 persis di depan kami. susah ya merasakannya?? tak masalah... karena kami anak polisi sudah dilatih untuk itu semua... dilatih untuk terbiasa..dengan semua caci dan hina, untuk perbuatan yang tak dilakukan oleh ayahanda..

sebuah tulisan singkat untuk kita semua.. 

dari kami para anak polisi yang setia..(cieeeeeeeee)

Dirgahayu Polisi Indonesia..



Kamis, 08 Oktober 2015

MENEBAR KEBAIKAN





“Kalau kamu bukan anak Raja dan engkau bukan anak Ulama besar, maka jadilah Penulis” (Imam Al-Ghazali)

            Kalimat sederhana bermakna dalam dari Imam Al-Ghazali untuk kita para homonaran (makhluk yang suka bercerita) di atas menyadarkan kita agar kita harus menjadi “seseorang” di dunia ini. Menjadi seorang anak raja sudah tentu kita memiliki banyak keuntungan, kekuasaan dan harta akan dengan mudah kita dapatkan. Sebagai anak ulama pun demikian. Perkataan kita yang berbasis ilmu dari orang tua seorang ulama pun tidak akan mudah dipandang remeh di masyarakat. Ketika dua hal itu tidak menempel pada diri kita, lahir dari seorang rakyat biasa, orang tua yang tidak terlalu pintar, atau malah mungkin memiliki pendidikan di bawah rata-rata, maka Imam Al Ghzali menyarankan agar kita menjadi penulis.
            Lalu apa yang akan kita tulis?jika kita bukan orang yang biasa saja. Perlu disadari, semua orang bisa menjadi penulis. Minimal menjadi penulis cerita tentang dirinya sendiri. Karena tidak ada yang lebih mudah daripada menceritakan diri kita sendiri, karena kita yang lebih tau keadaan diri kita, pengalaman diri kita, dan cerita diri kita sendiri. Tentu tidak mudah untuk menceritakan diri sendiri jika diri ini tidak melakukan apa-apa. Tidak akan menjadi tulisan menarik jika dalam hidup ini  hanya melakukan hal-hal rutin seperti  tidur, bangun, makan, lalu tidur lagi. Untuk itu tulisan ini dibuat, bukan untuk membuat Anda menjadi seorang penulis terkenal, novelis bestseller, atau komlomnis berpengaruh. Tulisan ini hanya ingin membuat Anda mampu merancang dan memetakan diri anda untuk menjadi manusia yang lebih punya “nilai”. Dengan menjadi manusia yang punya “nilai”maka kita  akan lebih mudah menuliskannya.
            Lalu untuk apa kita menulis? Mungkin itu pertanyaan selanjutnya. Jika kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik, punya “nilai” yang bisa ditiru, punya pengaruh dan ide-ide cemerlang tentang kebaikan, lalu apa? Tulis?untuk apa ?mengapa kita harus menuliskannya? Menjawab pertanyaan ini, coba kita berpikir dan kita harus menyadari bahwa tulisan itu berumur panjang. Setiap kata yang tertulis di kitab-kitab karangan para pemikir berabad-abad lalu masih menjadi bahan bacaan oleh banyak ilmuan masa kini. Apakah itu penting?


            Sebuah petikan hadist  dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w bersabda: "Apabila seorang anak Adam mati putuslah amalnya kecuali tiga perkara : sedekah jariah,atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak yang soleh yang berdoa untuknya." (Hadith Sahih - Riwayat Muslim dan lain-lainnya)
            Menarik jika kita memahami hadist ini, di dalamnya disampaikan bahwa ketika seorang manusia meninggal maka tidak akan ada lagi kesempatannya untuk menambah berat timbangannya di hari akhir, kecuali melalui tiga perkara yang telah disebutkan. Untuk hal ini kita dapat merasakan bahwa waktu meraih pahala cuma sebentar, yakni hanya sampai meninggal. Jika saat Anda membaca tulisan ini adalah hari Rabu, dan anda ditakdirkan meninggal Kamis esok, maka hari ini adalah hari terakhir Anda beribadah. Sebentar bukan?
            Kita belum tentu memiliki anak yang sholeh, kita belum tentu kaya raya untuk bersedekah jariyah yang banyak. Tapi kita semua memiliki kesempatan untuk menebar kebaikan dengan ilmu bermanfaat yang kita miliki. Untuk itu, mulai saat ini kita akan bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik dan berilmu serta bersepakat untuk menjadi penyampai ilmu demi kebaikan kita di dunia maupun akhirat. Menjadi seseorang yang mengajarkan kebaikan adalah sebuah konsepsi universal di dunia ini. Melarang orang membuang sampah sembarangan adalah konsep yang berlaku dimana saja kita berada, mencegah perampokan, penculikan, pemerkosaan, adalah konsep umum yang diterima di seluruh hamparan bumi ini. Jadi tidak ada alasan kita untuk tidak menjadi manusia yang mengejar pahala dengan menyebarkan kebaikan.
Semua manusia memiliki impian dalam hidupnya. Namun, tidak sedikit manusia yang memiliki impian setelah hidupnya berakhir. Max Weber dalam teori Etika Protestannya mengatakan bahwa manusia berusaha untuk mencari sebuah jaminan kebahagiaannya di akhirat dengan membuat dirinya bahagia di dunia, dan hal inilah yang menjadi munculnya kegigihan perekonomian bangsa barat. Hal ini bisa menjadi rujukan bagi kita untuk “memastikan” kebahagiaan kita di akhirat dengan menjadikan diri kita pribadi baik yang bermanfaat bagi banyak orang.

Manusia dilahirkan dengan berbagai sikap dan sifat tertentu dalam menghadapi sesuatu. Tidak sedikit manusia yang menolak ketika diajak untuk menjadi lebih baik dan meninggalkan hal buruk.Dibutuhkan energi lebih untuk menjadi penyampai kebaikan ini dan kita akan lakukan itu mulai hari ini, setelah selesai membaca tulisaN ini, jadilah pribadi baru yang akan membuat dunia di sekitar anda lebih baik. Tidak peduli anda adalah seorang pemuda, orang tua, perempuan, laki-laki, lulusan SD, atau seorang Profesor. Menjadi orang baik yang membuat orang jadi baik adalah hak Anda.!!

SADAR, BANGKIT , BERGERAK !!
          Untuk menjadi pribadi yang baik dan membuat orang lain baik perlu kita lakukan beberapa langkah konseptual yang mudah untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas Anda akan melakukan perbaikan di lingkungan apapun, kelas, kantor, keluarga, masyarakat, atau bahkan negara.
            Hal yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan menjadi pribadi baik yang menebar kabaikan dapat dibagi menjadi tiga bagian.
            Tiga hal ini menjadi kerangka kehidupan kita dalam proses menjadi pribadi baik yang menebar kebaikan. Akan kita jelaskan dan paparkan satu persatu tentang hal ini, agar lebih aplikatif dan segera dapat diterapkan oleh pembaca.

SADAR
            Secara bahasa, sadar artinya merasa, tau atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali. Keadaan sadar dapat dikatakan kesadaran. Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif. Kadang kala kita lupa pada tahapan ini. Dalam menghadapi sebuah permasalahan atau jika ingin melakukan sesuatu kita harus melewati proses ini, yaitu tahapan “sadar”. Kita harus mengetahui bagaimana, dan apa yang akan kita hadapi. Secara konseptual kesadaran membutuhkan tiga tahapan, yaitu penginderaan, pengertian dan pemahaman. Hal ini disebut proses komunikasi intrapersonal sesuai dengan yang disampaikan oleh Djalaludin Rakhmat dalam karya besarnya buku Psikologi Komunikasi.
            Untuk mencapai kesadaran yang baik diperlukan kemampuan menangkap segala sesuatu dengan indera yang kita miliki, baik itu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan perabaan. Jika kita sudah mampu mengoptimalkan penginderaan terhadap sesuatu maka kita akan dengan mudah untuk bergerak ke tahapan selanjutnya. Mengerti tentang sesuatu juga merupakan proses mencapai kesadaran seorang manusia. Bisa melogikakan segala seustau yang telah dindranya untuk selanjutnya masuk ke tahapan paham. Paham adalah mengerti yang tidak sekedar tahu, tapi telah mencapai tahapan analisis mendalam tentang sesuatu yang telah diketahui. Tiga hal tahapan mencapai kesadaran ini sangat dibutuhkan untuk perbaikan diri.
Sadar menjadi sangat penting karena akan sulit melakukan perbaikan diri jika kita merasa diri kita telah baik, tanpa menyadari bahwa diri kita masih jauh dari harapan baik. Sebagai contoh, seorang mahasiswa tidak akan terdorong untuk rajin belajar, berubah menjadi mahasiswa yang semangat kuliah  jika dia tidak melihat, atau mendengar informasi tentang IPK nya yang rendah. Dia merasa IPK nya baik-baik saja, padahal sebenarnya telah diambang DO. Oleh sebab itu kesadaran adalah hal penting dan dibutuhkan dalam perbaikan pada diri. Untuk karyawan yang malas dan bekerja tidak sesuai target, mereka harus sadar dulu bahwa mereka memang malas, missal dilihat dari indicator kehadiran, keterlambatan, target yang menurun, dan lainnya, intinya sadarkan bahwa mereka memang harus melakukan perbaikan.

BANGKIT
            Setelah melewati tahapan sadar, maka kita masuk tahapan selanjutnya yaitu bangkit. Secara bahasa bangkit memiliki pengertian bangun. Bangun dalam hal ini adalah mulai untuk tidak terlena dengan kesadaran yang kita telah dapatkan. Banyak orang ketika menyadari bahwa dia butuh perbaikan maka ia terlena dengan kesadaran tersebut. Seolah-olah dia telah melakukan perbaikan dengan menyadari kekurangan dirinya. Bangkit dalam hal ini adalah berusaha untuk merancang dan memetakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi masalah yang telah kita sadari ada pada diri sendiri. Semua masalah Anda yang ada tidak akan sirna begitu saja hanya dengan dikeluhkan. Tidak akan hilang hanya dengan disadari saja. Kita harus pikirkan solusinya. Inilah langkah awal untuk perubahan.
            Bangkit adalah tahapan yang kadangkala menjadi penyebab seseorang mulai malas, mulai mundur, mulai merasa dirinya tidak akan bisa berubah. Bangkit adalah tahapan kita untuk menyingkirkan penghalang yang menghalangi diri ini untuk bergerak dan maju menjadi lebih baik. Menjadi sulit jika pengahalang untuk menjadi lebih baik itu muncul dan terus tumbuh ketika kita sudah mencapai tahapan sadar. Tahapan bagkit adalah intinya. Sukses atau tidaknya perubahan seseorang adalha ketika ia mampu melewati tahap bangkit ini. Karena menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bangkit juga dapat diartikan gerakan yang dilakukan untuk mengubah posisi dari rebah menjadi berdiri. Tentu tidak mudah, apalagi jika posisi rebah telah membuat diri sangat nyaman.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa telah menyadari bahwa nilai-nilainya kacau dan tidak memiliki sedikitpun kemampuan berorganisasi karena waktunya yang habis untuk bermain game online. Karena kesadarannya dia mulai bertekad untuk menjadi lebih baik, ia menyiapkan rencana untuk membuat perubahan pada dirinya, dia mulai mengatur jadwalnya untuk belajar, dan berencana mengikuti berbagai organisasi. Ketika dalam proses ini, dia tidak mudah mengerti materi perkuliahan, beberapa temannya tidak menerima perubahannya, dengan mengatakan percuma berubah, atau organisasi yang baru diikutinya menolak dan mengucilkannya. Hal ini akan membuat dia kembali bersinggungan dengan game online nya. Lalu ia kembali terlena, dan merasa, “ah.. saya sudah mencoba, tapi tetap tidak bisa”.
Untuk itu, proses bangkit ini membutuhkan dorongan dan bantuan yang kuat , tidak hanya dari dalam diri orang yang ingin berubah, tapi juga dari pihak eksternal yang berada disekitarnya. Jika tidak mendapat dukungan yang baik, maka akan rentan bagi seseorang yang akan mulai bangkit untuk dapat “berdiri” karena sudah dijatuhkan sebelum ia mulai untuk mengganti posisinya dari rebah menjadi berdiri.
BERGERAK
Inilah tahapan terakhir yang akan kita bahas dalam proses perubahan dan perbaikan seorang manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah melewati tahapan sadar dan bangkit maka seseorang telah siap untuk melanjutkan proses perubahannya untuk bergerak. Gerak menurut definisi yang merujuk pada ilmu pengetahuan alam adalah suatu perubahan tempat kedudukan pada suatu benda dari titik keseimbangan awal. Sebuah benda dikatakan bergerak jika benda itu berpindah kedudukan terhadap benda lainnya baik perubahan kedudukan yang menjauhi maupun yang mendekati.
Dalam hal ini, bergerak adalah berusaha untuk melakukan sesuatu yang nyata, berpindah dari satu posisi ke posisi lain, tidak statis pada satu posisi. Setelah menyadari diri dalam keadaan rebah di bawah, seseorang harus melalui proses bangkit untuk berdiri tegak dan mengganti posisi. Selanjutnya dia harus mulai untuk melangkahkan kakinya, menggerakkan tangannya, menolehkan wajahnya. Perubahan tidak terjadi hanya dengan kesadaran dan langkah-langkah untuk berubah, tanpa menjalankannya. Dalam tahap ini, semua rencana, dan semua rancangan yang telah berbentuk ancang-ancang dalam proses bangkit direalisasikan melalui sebuah gerakan. Tidak ada lagi kata ragu, menyerah, putus asa, atau merasa lemah.
Gerakan harus dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dirancang agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Tidak ada kata mundur. Jika kita telah berada dijalur yang lurus dan benar sesuai dengan pesan Baginda Rasulullah SAW, berlarilah, jika tidak sanggup untuk berlari maka mulailah berjalan, jika kaki ini lelah untuk berjalan, jika kita sudah tidak kuat maka teruslah maju walau harus dengan merangkak, terus maju walau dengan kecepatan yang sangat pelan dan  jangan pernah berpikir untuk berhenti apalagi mundur. Karena perjuangan untuk menjadi baik tidaklah mudah. Dibutuhkan konsep yang matang dan kesadaran yang penuh serta kebangkitan yang total agar terjadi sebuah gerakan maksimal.
Melanjutkan contoh tentang seorang mahasiswa yang bernilai buruk dan ingin berubah. Kesadarannya telah muncul, bahwa ia harus berubah menjadi lebih baik, ia ingin membahagiakan orang tuanya, ia ingin membuat dirinya lebih berguna bagi bangsa, Negara dan agamanya, serta bahagia di dunia dan akhiratnya. Ia mulai bangkit tapi banyak penolakan dan kegagalan yang dialaminya. Ia terus berjuang, bangkitnya memang banyak halangan, tapi dia berhasil menyingkirkan semua pikiran negative sehingga ia mampu untuk bergerak. Kuliahnya pun sedikit demi sedikit mulai membaik, nilai-nilainya mulai memuaskan. Organisasi mulai menerimanya karena ide-ide cemerlangnya tentang perubahan, teman-temannya mulai mendekatinya karena ia menjadi pribadi yang terbuka dan ramah.
Itulah contoh perubahan konkret dari seseorang yang telah melewati proses perubahan dengan konsep sadar, bangkit, berubah. Memang tidak mudah dan tidak dalam waktu yang singkat. Tapi semua itu bisa diwujudkan jika kita yakin bahwa itu bisa dilakukan. Semua orang menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah sebuah realitas yang sudah memang harus terjadi, padahal Allah menciptakan manusia dengan kebebasan berpikir dan bergerak.
Jika kita bisa melakukan tahapan demi tahapan dengan sabar dan terkontrol, maka tidak akan susah untuk menjadi pribadi yang baik dan menyebarkan kebaikan. Mulailah untuk menyadari dan menilai diri sendiri. Kekurangan apa yang aku punya?kelemahan apa yang aku miliki? Setelah itu, mulailah berusaha memikirkan solusi untuk mengatasi atau menghilangkannya. Setelah itu lakukan. Lakukan walau itu tidak mudah. Bukankah kita selalu berdoa untuk ditujukkan jalan yang lurus, bukan jalan yang mulus.