Selesai sudah tahap pertama pesta demokrasi di
negeri ini. Seperti yang sudah diduga banyak pihak, kelompok oposisi yang telah
menanti selama 10 tahun berhasil meraih pucuk pimpinan. Partai Demokrasi Indonesia
perjuangan (PDIP) dari hasil hitung cepat tak tersusul lagi oleh Golkar yang
mengekor di belakangnya. Perolehan suara PDIP tak mampu ditandingi partai
lainnya, banyak spekulasi mulai dari kebosanan rakyat terhadap pemimpin
terdahulu, mencari sosok baru, kehilangan kepercayaan pada partai berbasis
Islam, sampai ke kesuksesan pembangunan citra tokoh partai dalam hal ini
dititipkan pada seorang Jokowi.
Partai-partai nasionalis baru pun mampu
memiliki suara yang tidak sedikit. Gerindra yang pada pemilu 2009 hanya poros
tengah, mampu melesat ke tiga besar lewat pencitraan sosok jendral luar
biasanya Prabowo. Hanura juga tak ketinggalan, berkat “perkawinannya” dengan
raja media MNC Group Hary Tanoe, Hanura menjelma menjadi partai yang mulai
memiliki tempat di hati rakyat lewat “bantuan-bantuan” sosial yang
diberikannya. Nasional Demokrat (Nasdem) ikut unjuk gigi sebagai partai baru,
terbukti retorika “bos” mereka yang juga pemilik media besar di negeri ini
Surya Paloh, mampu mendongkrak suara.
Secara
umum Indonesia berhasil melaksanakan pemilu dengan tingkat golput kurang dari
25% walaupun tetap tidak bisa dibilang sedikit. Namun, pemilu kali ini bisa disebut
representasi keadaan dan pemahaman politik rakyat Indonesia. Terlihat jelas
pengaburan ideologi besar-besaran pada pemilu saat ini. Dengan jumlah muslim
yang besar, seharusnya Partai Islam seharusnya selalu menjadi juara dalam
perhelatan lima tahunan ini, tapi apa hendak dikata dari hasil pemilu
legislatif ini dapat partai-partai nasionalislah memuncaki tiga besar. Partai
Islam apa kabar? Hanya PKB yang dengan mengejutkan berhasil meloncat ke lima
besar dengan perolehan suara mencapai 9,6%. Sementara PKS (7,1%), PPP(6,8%),
hanya menjadi poros tengah, bahkan PBB (1,5%) terseok-seok dengan perolehan suara
dibawah syarat mendapatkan kursi parlemen sebesar 3,5%.(hasil quick count,(9/4, pukul 19 :09, LSI)
Dari
fenomena ini muncul pertanyaan besar, kemana umat Islam Indonesia yang
jumlahnya mencapai 200 juta lebih atau jika dalam hitungan persentasi mencapai 87% penduduk Indonesia. Jika saja semua umat
Islam memiliki ideologi yang kuat untuk menjadikan Islam berkuasa di negeri
ini, maka partai Islam tak akan bernasib seperti sekarang. Sudah selaykanya
seorang muslim yang menjadikan Islam landasan hidupnya memihak partai yang
berjuang untuk Islam. Tapi apakah pantas kita menyalahkan umat Islam negeri
ini? coba kita kaji ulang tentang teori stimulus respon, respon akan datang
sesuai dengan ransangan yang diberikan. Dalam hal ini, partai Islam akan
menjadi pilihan umat Islam jika mampu memberikan rangsangan yang tepat dan
sesuai dengan keinginan umat Islam. Namun, tampaknya partai Islam di negeri ini
belum mampu meyakinkan semua umat Islam untuk sepakat secara ideologis untuk
mendukung visi dan misi mereka dalam memimpin negara ini. Atau jangan-jangan
partai Islam hanya tinggal nama dan telah meninggalkan nilai-nilai keislaman.
Tokoh-tokoh besar partai Islam hanya berdiri di garis tengah dan cuma
berkesempatan menjadi menteri di tataran kabinet tanpa taring yang kuat.
Menatap pemilihan presiden yang akan segera
dilaksanakan muncul pertanyaan besar bagi partai Islam, apakah Islam akan kalah
lagi? Terlihat jelas partai nasionalis akan mengusung calon presiden dan wakil
presiden mereka dengan mudah. Di sinilah
partai Islam yang berada di poros tengah diuji, apakah rela bergabung
dan mengekor kembali ke partai nasionalis, atau berpikir cerdas untuk
kebangkitan Islam di negeri ini. Seandainya para pemimpin partai Islam bersatu
maka partai Islam telah mengumpulkan suara kurang lebih 24,5% suara. Ketika
koalisi yang dirahmati Allah SWT yang hanya bertujuan untuk kebangkitan Islam
diadakan dengan visi misi menerapkan syariah Islam di Indonesia maka tak
tertutup kemungkinan capres dan cawapres yang diusung akan dilirik oleh umat
Islam yang merindukan kejayaan Islam, kesejahteraan dan keamanan seperti di
masa Khulafaur Rasyidin
Partai Islam perlu bergabung bersama dan
meluruskan nilai-nilai yang sesuai dengan Islam. Hal ini layak diperhitungkan
karena dalam menjalankan kehidupannya manusia memerlukan sistem yang mengatur
naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tentu saja aturan itu tidak mungkin berasal
dari manusia, karena ia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui segala
sesuatu. Juga karena pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin
sekali terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Suatu hal yang
hanya akan melahirkan tata aturan yang saling bertentangan, yang berakibat
kesengsaraan pada manusia. Karena itu, peraturan tersebut harus berasal dari
Allah SWT. Dan umat Islam membutuhkan pemerintahan yang fokus dan peduli dengan
penerapan hukum Islam di negeri ini.
Jika ingin kebangkitan Islam itu
tercapai, maka tak ada pilihan lain bagi partai-partai Islam, kecuali
berkoalisi bersama, menolak pinangan partai-partai nasionalis yang mengajak
bergabung dan fokus maju bersama demi kebangkitan Islam. Kesempatan memimpin atau
setidaknya mencoba memimpin negeri ini dengan Islam di depan mata, inilah
saatnya, inilah momentum menjadi bangsa yang besar. Tidak ada kebangkitan
terbesar suatu bangsa selain bangkit menghilangkan kekufuran dan kemungkaran di
tanah airnya. Kaum kafir telah bersatu-padu dan berkoalisi dengan berbagai cara
untuk menjatuhkan dan menguasai umat Islam, Islam kapan bersatu dan berkoalisi?
Kita terlalu sibuk mengurus kelompok masing-masing, tanpa memikirkan
kebangkitan Islam.
Untuk menghadapi keadaan ini, dalam
konteks politik hendaknya setiap muslim yang
bertindak sebagai penyelenggara negara bertindak tepat. Dalam menjalankan
seluruh aktivitasnya hendaknya menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah
dan larangan-larangan-Nya. Negara adalah pihak yang mengatur seluruh urusan
rakyat, dan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan
larangan-larangan-Nya. Inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap muslim.
Jadi, kebahagiaan itu bukan sekadar memuaskan kebutuhan jasmani dan mencari
kenikmatan,melainkan mendapatkan keridlaan Allah SWT. Partai Islam bukan hanya
sebatas memberikan janji-janji kesejahteraan umat, tapi menjanjikan
kesejahteraan di bawah naungan hukum Allah. Selama kesejahteraan yang
dijanjikan hanya kesejahteraan di bawah sistem politik yang sekuler dan liberal
seperti sekarang ini, maka kesejahteraan hakiki bagi umat, hanya mimpi belaka.
Tak ada alasan partai Islam untuk bimbang atau
ragu akan kebangkitan Islam karena faktor rakyat non muslim. Islam dengan jelas
telah mengatur tentang rakyat nonmuslim yang harus dilindungi dan dijamin
kesejahteraannya. Islam telah mengatur hubungan kita dengan nonmuslim bagaimana
kita menanggapi kafir harbi( kafir yang layak diperangi, karena berusaha
merusak islam) dan kafir zimi (Kafir yang menjadi rakyat negara muslim, dan
berhak dilindungi). Islam adalah sistem
paling sempurna dalam mengatur kehidupan di alam ini, maka tak salah Islam
disebut Rahmatan Lil’alamin.
Waktu pemilihan presiden tak lama lagi, masih
ada waktu untuk memikirkan kekuatan, masih ada waktu menyusun strategi bersama.
Jika niat koalisi partai Islam adalah untuk meraih kekuasaan dan mengembalikan
kejayaan Islam, maka dengan izin Allah SWT semua akan terwujud, 24,5% koalisi
ditambah umat Islam yang sadar dengan cita-cita kebangkitan Islam akan
berpindah haluan untuk mendukung koalisi yang dicintai Allah SWT ini. Semoga
pemimpin partai Islam dapat menyadari kesempatan besar ini. Inilah saatnya
menyatukan umat Islam untuk bangkit bersama. Jika partai Islam itu memang ada
maka tidak perlu lagi jargon Indonesia hebat, Indonesia Kuat, Indonesia Bangkit
dan lainnya. Cukup satu, Indonesia Bersyariah, semua itu akan terwujud jika
partai Islam itu memang ada di negeri ini. Walahuallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar