[Al-Islam edisi, 772, 4 Dzulhijjah 1436 H – 18 September 2015 M]
Alhamdulillah. Sepantasnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Berkat
karunia-Nya kita akan bertemu lagi dengan hari raya terbesar bagi umat
Islam. Itulah Idul Adha atau Idul Kurban. Pada hari itu umat Islam di
seluruh dunia mengemakan takbir, tahlil dan tahmid sebagai umat yang
satu. Satu akidah, satu syariah, satu kiblat dan satu syiar. Pada hari
itu pula jutaan kaum Muslim tengah menunaikan ibadah haji. Mereka
bersatu di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan syiar yang
sama, dengan syariah yang sama dan tujuan yang sama, yaitu mewujudkan
ketaatan kepada Allah SWT. Semoga pemandangan ketaatan dan persatuan ini
bukan hanya kita lihat hanya pada hari itu, tetapi juga pada hari-hari
yang lain.
Ketaatan Mutlak
Ibadah Qurban mengingatkan kita akan ketaatan mutlak keluarga Nabi Ibrahim as. Pertama:
Ketaatan Ibrahim as. kepada Allah SWT yang telah memerintahkan beliau
untuk meninggalkan istri dan putranya tercinta di lembah gersang tanpa
tumbuhan (HR al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas); juga ketaatan beliau kepada
Allah SWT yang telah memerintahkan beliau untuk menyembelih putranya
tercinta, yang telah dinanti sejak lama.
Kedua: Ketaatan istri beliau, yakni Hajar, saat
ditinggal sendiri bersama putranya, Ismail as., di padang pasir tandus,
tanpa siapapun yang menemani di sana (HR al-Bukhari).
Ketiga: Ketaatan putra beliau, yakni Ismail as.,
yang dengan sabar dan berserah diri menerima perintah Allah SWT meski
perintah itu akan berakibat hilangnya nyawanya. Ismail as. bahkan
berkata kepada ayahnya:
﴿يآ أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ﴾
Ayah, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar (TQS ash-Shaffat [37]: 206).
Seperti itulah ketaatan sejati seorang Muslim kepada Allah SWT; sebuah ketaatan mutlak, tanpa batas.
Ketaatan mutlak ini pun ditunjukkan oleh jamaah haji. Saat menunaikan
rangkaian manasik haji, mereka tidak mempertanyakan: mengapa harus
begini dan mengapa harus begitu? Semua rangkaian ibadah haji itu mereka
tunaikan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah SWT
yang telah menetapkan tatacara manasik haji meski tidak mereka pahami.
Seharusnya ketaatan mutlak semacam ini pun diwujudkan oleh kaum Muslim
dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Seorang Muslim akan meyakini bahwa di balik ketaatan menjalankan
semua syariah-Nya pasti ada kebaikan. Allah SWT tidak akan akan
menyia-nyiakan hamba-Nya yang taat menjalani syariah-Nya. Sebagaimana
perkataan Hajar, istri Nabi Ibrahim as.:
إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا اللهُ
“Kalau begitu, Allah pasti tak akan menyia-nyiakan kita.” (HR al-Bukhari).
Allah SWT juga berfirman dalam hadis qudsi:
وَإِنِّيْ إِذَا أُطِعْتُ رَضِيْتُ، فَإِذَا رَضِيْتُ بَارَكْتُ وَالْبَرَكَةُ مِنِّيْ تُدْرِكُ اْلأُمَّةَ بَعْدَ اْلأُمَّةِ
Sesungguhnya Aku, jika ditaati, pasti Aku ridha. Jika aku telah ridha, pasti Aku memberikan keberkahan. Keberkahan-Ku itu akan dirasakan oleh umat demi umat (HR Ibn Abi Hatim).
Jika Allah SWT pasti memuliakan orang taat kepada-Nya, maka
sebaliknya, Dia akan menghinakan orang yang maksiat kepada-Nya dan
berbuat zalim.
﴿وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا﴾
Sungguh, pasti merugi orang yang melakukan kezaliman (TQS Thaha [20]: 111).
Karena itu segala malapetaka, krisis multidimensi dan berbagai
keterpurukan yang kini menimpa umat Islam adalah karena mereka tidak
taat secara total kepada Allah SWT. Musibah dan krisis yang menimpa
negeri ini dan negeri-negeri kaum Muslim adalah karena mereka berpaling
syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
﴿فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أّنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ﴾
Jika mereka berpaling (dari syariah-Nya), ketahuilah bahwa Allah
bermaksud menimpakan musibah kepada mereka akibat sebagian dosa-dosa
mereka (TQS al-Maidah [5]: 49).
Ketaatan kepada Allah SWT secara total dengan menjalankan syariah-Nya
adalah jalan yang harus kita tempuh untuk keluar dari segala
keterpurukan. Jalan ini memang terjal dan penuh tantangan. Namun,
yakinlah bahwa di balik ketaatan pasti ada kebaikan; yakinlah bahwa di
mana saja syariah-Nya ditegakkan, pasti di situ ada kemaslahatan. Kaidah ushul-nya mengatakan:
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ المَصْلَحَةُ
Di mana saja syariah ada (diterapkan), pasti di situ ada (terwujud) kemaslahatan.
Ketaatan kepada Allah SWT secara total dengan menjalankan syariah-Nya
dalam seluruh aspek kehidupan hanya bisa dilaksanakan jika kaum Muslim
memiliki kekuasaan (pemerintahan Islam) yang berfungsi sebagai kiyân tanfîdzi
(institusi pelaksana) bagi hukum-hukum Islam. Tanpa Khilafah, ketaatan
hanya akan menjadi ketaatan semu dan parsial. Betapa pentingnya
kekuasaan ini, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. untuk berdoa:
﴿وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا﴾
Jadikanlah, ya Allah, bagiku dari sisi-Mu kekuasaan yang selalu menolong (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Terkait ayat ini, Ibn Katsir berkata, “Qatadah berkata tentang
ayat ini, ‘Sesungguhnya Nabi Allah saw. tahu bahwa beliau tidak memiliki
kekuatan atas agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itu beliau
memohon kekuasaan yang bisa menolong Kitab Allah; kekuasaan yang bisa
menolong hukum-hukum-Nya; kekuasaan yang bisa menolong (pelaksanaan)
kewajiban-kewajiban-Nya; dan kekuasaan yang bisa menolong untuk
menegakkan agama-Nya.’”
Persatuan Umat
Pada hari raya yang agung ini, kita juga diingatkan tentang jutaan
kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia yang berkumpul di Makkah
al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka disatukan di tempat
yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan tatacara manasik yang sama
dan dengan syiar yang sama:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
“Ya Allah, kami memenuhi panggilan-Mu, kami memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Sayang, saat ini umat Islam sedunia baru bisa bersatu pada saat
menunaikan ibadah haji. Setelah itu, saat umat Islam kembali ke
negerinya masing-masing, mereka kembali dipecah-belah dengan
nasionalisme sempit. Mereka kembali diceraiberaikan oleh perbedaan
mazhab. Mereka kembali berselisih karena berbeda organisasi dan
kepentingan. Mereka lemah dan tak berdaya akibat fanatisme kesukuan dan
nasionalisme.
Akibatnya, umat Islam menjadi umat yang lemah, tidak berwibawa dan
tidak diperhitungkan oleh musuh-musuhnya. Kaum Yahudi terus-menerus
mengusir dan membantai saudara-saudara kita di Palestina.
Saudara-saudara kita di Rohingya terus-menerus dihinakan oleh kaum Budha
radikal. Saudara-saudara kita, para pejuang Islam di Uzbekistan,
terus-menerus menjadi korban kebiadaban rezim durjana. Begitu juga di
negeri kita yang mayoritas penduduknya Muslim ini, umat Islam
terus-menerus dilecehkan dan didipinggirkan. Pembakaran masjid di
Tolikara hanya salah satu buktinya. Bahkan baru-baru ini pihak GIDI di
Tolikara mengancam bahwa Idul Adha di sana baru akan aman jika umat
Islam mau mengikuti kenginan mereka.
Yang juga membuat kita semua bersedih adalah apa yang terjadi di
Angola. Lebih dari 60 masjid di sana telah ditutup dan dihancurkan,
sementara agama Islam resmi menjadi agama terlarang karena dipandang
bertentangan dengan adat setempat.
Bahkan di bekas jantung Negara Khilafah, Suriah dan Irak, kaum Muslim
pun tidak aman. Darah, harta dan kehormatan mereka begitu murah. Sesama
Muslim saling bunuh demi kepentingan penjajah. Bertahun-tahun mereka
hidup dihantui ketakutan yang luar biasa. Ratusan ribu
penduduknya—tua-muda, pria-wanita—berbondong-bondong meninggalkan
negerinya, entah ke mana. Di Eropa mereka terdampar tanpa arah dan
terlunta.
Adapun di negeri-negeri Arab yang kaya-raya, penguasanya menutup
mata. Jangankan untuk mengurus mereka yang “menyusahkan”, mengurus
jamaah haji yang memberikan keuntungan materi kepada mereka saja,
penguasa itu abai dan teledor. Akibatnya, darah pun tumpah di Masjidil
Haram, Tanah Suci, di bulan suci, di penghulu hari. Tak kurang 180-an
nyawa melayang menjadi korban keteledoran mereka.
Mengapa fenomena menyedihkan ini terus-menerus menimpa umat ini?
Sampai kapan umat Muhammad saw. ini akan terus-menerus bercerai-berai?
Sampai kapan kita akan menjadi bulan-bulan kaum kafir durjana? Sampai
kapan kita akan menjadi umat yang kerdil dan tidak berwibawa?
Keterpecah-belahan umat ini tidak akan terjadi jika umat memiliki
payung dan pelindung. Umat Islam tidak akan menjadi umat kerdil dan
kecil jika umat ini bersatu di bawah naungan Khilafah. Umat Islam akan
menjadi umat yang kuat dan kembali menjadi umat terbaik (khayru ummah) jika bersatu di bawah naungan satu dawlah (negara), Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Al-Imam al-Jalil Syaikh Izzuddin bin ‘Abdissalam yang dikenal dengan julukan Sulthan al-Ulama pernah mengatakan:
لَوْلاَ الْخِلاَفَةُ لَمْ تَأْمَنْ لَنَا سُبُلٌ # وَكَانَ أَضْعَفُنَا نَهْبًا ِلأَقْوَانَا
Jika Khilafah tiada, jalan-jalan tak kan aman bagi kita
Orang lemah jadi santapan orang kuat di antara kita
Jauh sebelumnya, Hanzhalah bin Shaifi al-Katib, salah seorang
sekretaris Nabi saw., pernah berkata saat ada fitnah untuk menggulingkan
Khalifah Ustman bin Affan:
عَجِبْتُ لِمَا يَخُوْضُ النَّاسُ فِيْهِ # يَرُوْمُوْنَ الْخِلاَفَةَ أَنْ تَزُوْلاَ
لَوْ زَالَتْ لَزَالَ الْخَيْرُ عَنْهُمْ # وَلاَقُوْا بَعْدَهَا ذُلاَّ ذَلِيْلاً
Aku heran dengan apa diobrolkan manusia
Mereka ingin Khilafah lenyap
Padahal jika Khilafah lenyap, kebaikan dari mereka pun lenyap
Setelah itu mereka akan hina-dina
Akhirnya, sebagai renungan hari Raya Idul Adhha kali ini, marilah
kita bersatu-padu menyatukan tekad dan tujuan kita menuju kemuliaan
Islam dan kaum Muslim. Marilah kita bergabung dalam barisan para pejuang
Islam untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah
Rasyidah yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dan diberitakan oleh
Rasulullah saw. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar