Jumat, 18 September 2015

Mewujudkan Taat, Menyatukan Umat (Renungan Idul Adha 1436 H/2015 M)

[Al-Islam edisi, 772, 4 Dzulhijjah 1436 H – 18 September 2015 M]

Alhamdulillah. Sepantasnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Berkat karunia-Nya kita akan bertemu lagi dengan hari raya terbesar bagi umat Islam. Itulah Idul Adha atau Idul Kurban. Pada hari itu umat Islam di seluruh dunia mengemakan takbir, tahlil dan tahmid sebagai umat yang satu. Satu akidah, satu syariah, satu kiblat dan satu syiar. Pada hari itu pula jutaan kaum Muslim tengah menunaikan ibadah haji. Mereka bersatu di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan syiar yang sama, dengan syariah yang sama dan tujuan yang sama, yaitu mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT. Semoga pemandangan ketaatan dan persatuan ini bukan hanya kita lihat hanya pada hari itu, tetapi juga pada hari-hari yang lain.

Ketaatan Mutlak
Ibadah Qurban mengingatkan kita akan ketaatan mutlak keluarga Nabi Ibrahim as. Pertama: Ketaatan Ibrahim as. kepada Allah SWT yang telah memerintahkan beliau untuk meninggalkan istri dan putranya tercinta di lembah gersang tanpa tumbuhan (HR al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas); juga ketaatan beliau kepada Allah SWT yang telah memerintahkan beliau untuk menyembelih putranya tercinta, yang telah dinanti sejak lama.
Kedua: Ketaatan istri beliau, yakni Hajar, saat ditinggal sendiri bersama putranya, Ismail as., di padang pasir tandus, tanpa siapapun yang menemani di sana (HR al-Bukhari).
Ketiga: Ketaatan putra beliau, yakni Ismail as., yang dengan sabar dan berserah diri menerima perintah Allah SWT meski perintah itu akan berakibat hilangnya nyawanya. Ismail as. bahkan berkata kepada ayahnya:

﴿يآ أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ﴾
Ayah, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar (TQS ash-Shaffat [37]: 206).

Seperti itulah ketaatan sejati seorang Muslim kepada Allah SWT; sebuah ketaatan mutlak, tanpa batas.
Ketaatan mutlak ini pun ditunjukkan oleh jamaah haji. Saat menunaikan rangkaian manasik haji, mereka tidak mempertanyakan: mengapa harus begini dan mengapa harus begitu? Semua rangkaian ibadah haji itu mereka tunaikan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah SWT yang telah menetapkan tatacara manasik haji meski tidak mereka pahami. Seharusnya ketaatan mutlak semacam ini pun diwujudkan oleh kaum Muslim dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Seorang Muslim akan meyakini bahwa di balik ketaatan menjalankan semua syariah-Nya pasti ada kebaikan. Allah SWT tidak akan akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang taat menjalani syariah-Nya. Sebagaimana perkataan Hajar, istri Nabi Ibrahim as.:

إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا اللهُ
“Kalau begitu, Allah pasti tak akan menyia-nyiakan kita.” (HR al-Bukhari).

Allah SWT juga berfirman dalam hadis qudsi:

وَإِنِّيْ إِذَا أُطِعْتُ رَضِيْتُ، فَإِذَا رَضِيْتُ بَارَكْتُ وَالْبَرَكَةُ مِنِّيْ تُدْرِكُ اْلأُمَّةَ بَعْدَ اْلأُمَّةِ
Sesungguhnya Aku, jika ditaati, pasti Aku ridha. Jika aku telah ridha, pasti Aku memberikan keberkahan. Keberkahan-Ku itu akan dirasakan oleh umat demi umat (HR Ibn Abi Hatim).

Jika Allah SWT pasti memuliakan orang taat kepada-Nya, maka sebaliknya, Dia akan menghinakan orang yang maksiat kepada-Nya dan berbuat zalim.

﴿وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا﴾
Sungguh, pasti merugi orang yang melakukan kezaliman (TQS Thaha [20]: 111).

Karena itu segala malapetaka, krisis multidimensi dan berbagai keterpurukan yang kini menimpa umat Islam adalah karena mereka tidak taat secara total kepada Allah SWT. Musibah dan krisis yang menimpa negeri ini dan negeri-negeri kaum Muslim adalah karena mereka berpaling syariah-Nya. Allah SWT berfirman:

﴿فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أّنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ﴾
Jika mereka berpaling (dari syariah-Nya), ketahuilah bahwa Allah bermaksud menimpakan musibah kepada mereka akibat sebagian dosa-dosa mereka (TQS al-Maidah [5]: 49).

Ketaatan kepada Allah SWT secara total dengan menjalankan syariah-Nya adalah jalan yang harus kita tempuh untuk keluar dari segala keterpurukan. Jalan ini memang terjal dan penuh tantangan. Namun, yakinlah bahwa di balik ketaatan pasti ada kebaikan; yakinlah bahwa di mana saja syariah-Nya ditegakkan, pasti di situ ada kemaslahatan. Kaidah ushul-nya mengatakan:

حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ المَصْلَحَةُ
Di mana saja syariah ada (diterapkan), pasti di situ ada (terwujud) kemaslahatan.

Ketaatan kepada Allah SWT secara total dengan menjalankan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan hanya bisa dilaksanakan jika kaum Muslim memiliki kekuasaan (pemerintahan Islam) yang berfungsi sebagai kiyân tanfîdzi (institusi pelaksana) bagi hukum-hukum Islam. Tanpa Khilafah, ketaatan hanya akan menjadi ketaatan semu dan parsial. Betapa pentingnya kekuasaan ini, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. untuk berdoa:
﴿وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا﴾
Jadikanlah, ya Allah, bagiku dari sisi-Mu kekuasaan yang selalu menolong (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Terkait ayat ini, Ibn Katsir berkata, “Qatadah berkata tentang ayat ini, ‘Sesungguhnya Nabi Allah saw. tahu bahwa beliau tidak memiliki kekuatan atas agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itu beliau memohon kekuasaan yang bisa menolong Kitab Allah; kekuasaan yang bisa menolong hukum-hukum-Nya; kekuasaan yang bisa menolong (pelaksanaan) kewajiban-kewajiban-Nya; dan kekuasaan yang bisa menolong untuk menegakkan agama-Nya.’”

Persatuan Umat
Pada hari raya yang agung ini, kita juga diingatkan tentang jutaan kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia yang berkumpul di Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka disatukan di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan tatacara manasik yang sama dan dengan syiar yang sama:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
“Ya Allah, kami memenuhi panggilan-Mu, kami memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Sayang, saat ini umat Islam sedunia baru bisa bersatu pada saat menunaikan ibadah haji. Setelah itu, saat umat Islam kembali ke negerinya masing-masing, mereka kembali dipecah-belah dengan nasionalisme sempit. Mereka kembali diceraiberaikan oleh perbedaan mazhab. Mereka kembali berselisih karena berbeda organisasi dan kepentingan. Mereka lemah dan tak berdaya akibat fanatisme kesukuan dan nasionalisme.
Akibatnya, umat Islam menjadi umat yang lemah, tidak berwibawa dan tidak diperhitungkan oleh musuh-musuhnya. Kaum Yahudi terus-menerus mengusir dan membantai saudara-saudara kita di Palestina. Saudara-saudara kita di Rohingya terus-menerus dihinakan oleh kaum Budha radikal. Saudara-saudara kita, para pejuang Islam di Uzbekistan, terus-menerus menjadi korban kebiadaban rezim durjana. Begitu juga di negeri kita yang mayoritas penduduknya Muslim ini, umat Islam terus-menerus dilecehkan dan didipinggirkan. Pembakaran masjid di Tolikara hanya salah satu buktinya. Bahkan baru-baru ini pihak GIDI di Tolikara mengancam bahwa Idul Adha di sana baru akan aman jika umat Islam mau mengikuti kenginan mereka.
Yang juga membuat kita semua bersedih adalah apa yang terjadi di Angola. Lebih dari 60 masjid di sana telah ditutup dan dihancurkan, sementara agama Islam resmi menjadi agama terlarang karena dipandang bertentangan dengan adat setempat.
Bahkan di bekas jantung Negara Khilafah, Suriah dan Irak, kaum Muslim pun tidak aman. Darah, harta dan kehormatan mereka begitu murah. Sesama Muslim saling bunuh demi kepentingan penjajah. Bertahun-tahun mereka hidup dihantui ketakutan yang luar biasa. Ratusan ribu penduduknya—tua-muda, pria-wanita—berbondong-bondong meninggalkan negerinya, entah ke mana. Di Eropa mereka terdampar tanpa arah dan terlunta.
Adapun di negeri-negeri Arab yang kaya-raya, penguasanya menutup mata. Jangankan untuk mengurus mereka yang “menyusahkan”, mengurus jamaah haji yang memberikan keuntungan materi kepada mereka saja, penguasa itu abai dan teledor. Akibatnya, darah pun tumpah di Masjidil Haram, Tanah Suci, di bulan suci, di penghulu hari. Tak kurang 180-an nyawa melayang menjadi korban keteledoran mereka.
Mengapa fenomena menyedihkan ini terus-menerus menimpa umat ini? Sampai kapan umat Muhammad saw. ini akan terus-menerus bercerai-berai? Sampai kapan kita akan menjadi bulan-bulan kaum kafir durjana? Sampai kapan kita akan menjadi umat yang kerdil dan tidak berwibawa?
Keterpecah-belahan umat ini tidak akan terjadi jika umat memiliki payung dan pelindung. Umat Islam tidak akan menjadi umat kerdil dan kecil jika umat ini bersatu di bawah naungan Khilafah. Umat Islam akan menjadi umat yang kuat dan kembali menjadi umat terbaik (khayru ummah) jika bersatu di bawah naungan satu dawlah (negara), Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Al-Imam al-Jalil Syaikh Izzuddin bin ‘Abdissalam yang dikenal dengan julukan Sulthan al-Ulama pernah mengatakan:

لَوْلاَ الْخِلاَفَةُ لَمْ تَأْمَنْ لَنَا سُبُلٌ # وَكَانَ أَضْعَفُنَا نَهْبًا ِلأَقْوَانَا
Jika Khilafah tiada, jalan-jalan tak kan aman bagi kita
Orang lemah jadi santapan orang kuat di antara kita

Jauh sebelumnya, Hanzhalah bin Shaifi al-Katib, salah seorang sekretaris Nabi saw., pernah berkata saat ada fitnah untuk menggulingkan Khalifah Ustman bin Affan:

عَجِبْتُ لِمَا يَخُوْضُ النَّاسُ فِيْهِ # يَرُوْمُوْنَ الْخِلاَفَةَ أَنْ تَزُوْلاَ
لَوْ زَالَتْ لَزَالَ الْخَيْرُ عَنْهُمْ # وَلاَقُوْا بَعْدَهَا ذُلاَّ ذَلِيْلاً
Aku heran dengan apa diobrolkan manusia
Mereka ingin Khilafah lenyap
Padahal jika Khilafah lenyap, kebaikan dari mereka pun lenyap
Setelah itu mereka akan hina-dina

Akhirnya, sebagai renungan hari Raya Idul Adhha kali ini, marilah kita bersatu-padu menyatukan tekad dan tujuan kita menuju kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Marilah kita bergabung dalam barisan para pejuang Islam untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Rasyidah yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dan diberitakan oleh Rasulullah saw. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar